Buktinya, detik ini sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan diselimuti asap dan sudah berstatus siaga, sekitar 60 orang dan 1 korporasi di tetapkan sebagai tersangka karena diduga membakar.
Tahun-tahun sebelumnya pun demikian, banyak korporasi terjerat hukum akibat diduga membakar lahan.
Selain karena faktor pembakaran, karhutla juga dapat terjadi karena faktor alam. Jika melihat fakta kebakaran tahun 2015, luas karhutla juga disebabkan oleh faktor musim kemarau dan terdapat fenomena El-nino.
Kondisi itu menghanguskan sekitar 122.882,90 hektar hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Analisis Bank Dunia memperkirakan kerugian materil yang diakibatkan dari kebakaran tersebut setara Rp 220 triliun.
Tidak jauh berbeda dengan 2015, ada fenomena alam yang perlu diwaspadai, yakni Indian Ocean Dipole (IOD) positif atau lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera telah meningkatkan jumlah titik panas dan risiko karhutla (Kompas, 9/8/2019).
Itu masih ditambah puncak musim kemarau yang akan akan terjadi di bulan September-Oktober.
Jika tidak segera diantisipasi, sebagian wilayah Indonesia berpotensi dikuasai asap.
Tanah gambut yang kering akibat musim kemarau merupakan lahan yang rentan terbakar. Selain berfungsi sebagai penyimpan, gambut juga berpotensi mengeluarkan karbon terbesar jika terbakar.
Bahkan, saat api sudah padam, gambut tetap dapat melepas karbon ke udara dan memproduksi asap.
Berdasarkan pengalaman lembaga Kemitraan bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 109 Desa Peduli Gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua, faktor kecerobohan yang sering terjadi adalah terbakarnya lahan gambut karena puntung rokok yang lupa dimatikan sebelum dibuang.
Oleh karenanya, Kemitraan dan BRG merumuskan program pencegahan dengan melibatkan kerjasama semua pihak di level desa untuk meningkatkan pengetahuan seputar gambut dan meminimalkan kecerobohan.
Pendampingan di lebih dari 40 desa di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah berhasil mengubah kebiasaan sebagian petani untuk tidak lagi membuka lahan pertanian dengan cara bakar.
Pada sisi pemerintahan desa, sebagian desa menginisiasi terbentuknya peraturan desa (perdes) perlindungan ekosistem lahan gambut, agar tetap lestari, tidak kering dan mudah terbakar saat musim kemarau.
Selain itu juga memperkuat komunitas masyarakat peduli api (MPA) yang salah satu tugasnya adalah memantau dan menanggulangi titik api yang muncul, dengan dukungan anggaran dari dana desa.