Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Risiko Pemimpin Psikopat Berkuasa

Di bawah gambar sosok Donald Trump itu, ada artikel opini psikiater forensik dan spesialis kesehatan masyarakat Bandy Xenobia Lee asal AS berjudul “Trump is now dangerous – that makes his mental health a matter of public interest.” (Trump kini berbahaya, karena kesehatan mentalnya menjadi kepentingan publik.)

Sebelumnya, pada Mei 2017, Lee merilis pernyataan bahwa Donald Trump menderita gangguan mental. Karena Trump seorang presiden, gangguan mentalnya itu termasuk ‘keadaan darurat’ negara, sebab gangguan mental seorang presiden mempertaruhkan ‘keberlangsungan hidup kita sebagai spesies’ (Colin Kalmbacher, 2020; C. DeVega, 2017).

Usul ‘keadaan darurat’ negara karena keadaan mental Presiden Trump dari Lee itu pertamakali dalam sejarah dan praktek demokrasi presidensial AS sejak tahun 1787.

Indonesia menerapkan juga demokrasi presidensial sejak 18 Agustus 1945, ketika para pendiri (PPKI) Indonesia  mengesahkan UUD 1945 di Jakarta. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pasal 12 UUD45 berbunyi: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.”

Tulisan ini hendak mengulas kadar risiko dan anatomi ‘keadaan darurat’ negara-bangsa, jika presiden terpilih mengidap gangguan mental, khususnya psikopat.

Di AS tahun 2017, terbit buku The Dangerous Case of Donald Trump: 27 Psychiatrists and Mental Health Experts Assess a President. Lee menyunting buku itu, yang sangat laris (best seller) menurut harian The New York Times. Isinya adalah esai 27 psikiater, psikolog, dan spesialis kesehatan mental tentang efek-nular dan efek-imbas simbiosa narsistik dan psikosis Presiden Donald Trump terhadap keadaan mental atau kejiwaan masyarakat di AS.

Kesehatan mental Presiden Donald Trump menempatkan rakyat dan negara AS pada risiko besar, misalnya risiko perang, dan merapuhkan demokrasi akibat mental presiden (Kathleen Harker/The Washington Post, 2017). Para penulis buku itu yakin bahwa Presiden Trump mewakili suatu keadaan darurat; maka psikiater boleh dan wajib menyampaikan peringatan ke Pemerintah dan Rakyat AS (Gail Sheehy, 2017).

Lee menolak kode etik ‘Goldwater rule’ dari asosiasi psikiater American Psychiatric Association (APA) bahwa tidak etis psikiater singkap kesehatan mental tokoh masyarakat, tanpa memeriksa atau persetujuan tokoh itu (Gersen, 2017). Lee merujuk Deklarasi Jenewa tahun 1948 dari Majelis Umum Asosiasi Medis Dunia (World Medical Association). Isinya, sumpah atau janji tiap dokter di seluruh dunia mengabdi kepada nilai kemanusiaan.

Pada April 2017, Lee menggalang seminar ilmiah di Yale University tentang etika singkap bahaya mental Presiden Trump terhadap rakyat (Moris, 2018). Hasilnya, peserta seminar sepakat bahwa mereka wajib mengingatkan publik dan pemerintah AS (Gail Sheehy, 2017).
Diagnosa mental seorang mensyaratkan informasi relevan dan wawancara langsung pelaku. “But to assess dangerousness, one only needs enough information to raise alarms. It is about the situation rather than the person,” papar Lee (2018). (Diagnosa ancaman dan bahaya, hanya membutuhkan informasi cukup guna membunyikan alarm. Ini soal situasi ancaman dan bahaya bagi masyarakat dan negara, bukan urusan pribadi.)

Tahun 2017-2018, Lee menyampaikan bahaya mental Presiden Trump kepada sekitar 50 anggota Kongres AS (Blakely, 2018). Lee pada 2020 merilis buku Profile of a Nation tentang risiko kekerasan, jika Donald Trump kalah dalam Pilpres 2020. “…he is truly someone who would do anything, no matter how terrible, no matter how destructive, to stay in power.” Trump akan melakukan apa saja agar tetap duduk di kursi Presiden.

Karena gigih menyingkap risiko-risiko gangguan mental Trump, tahun 2020 Bandy Xenobia Lee diberhentikan dari Yale University dengan alasan melanggar kode etik Goldwater rule (Hahamy et al., 2021). Lee juga mendapat ribuan pesan ancaman melalui surat, telepon, dan media sosial termasuk ancaman pembunuhan (Blakely, 2018).

Risiko Demokrasi Presidensial

Satu pelajaran penting dari hasil kerja-keras Lee dan kawan-kawan ialah keadaan mental seorang presiden berimbas dan menular juga ke publik. Bagaimana Lee membaca bahaya mental Presiden Trump? “It is Trump in the office of the presidency that poses a danger. Why? Past violence is the best predictor of future violence!” (Tanda bahaya datang dari gangguan mental Donald Trump di kursi presiden; sebab kekerasan masa silam adalah alarm terbaik bagi perkiraan kekerasan masa datang!)

Apa saja alarm bahaya dari mental Presiden AS Donald Trump? Lee, tahun 2018, melacak bahaya mental Donald Trump terhadap daulat-rakyat (demokrasi) dan rezim presidensial yakni: (1) Agresi verbal, bual tentang pelecehan seks, hasut orang lain melakukan kekerasan, tertarik pada kekerasan, ejek negara lain bersenjata nuklir; (2) Impulsif, ceroboh, paranoia, reaksi marah, kurang empati, dan haus-lapar berkuasa; (3) Rapuh fungsi olah pengetahuan, sulit menyusun kalimat lengkap, memikirkan sesuatu, dan menggunakan kata-kata rumit.

Ketiga alarm tersebut di atas, menurut Lee, sangat berisiko bagi rakyat dan pemerintah AS, sebab Trump adalah presiden. Maka Lee mengusulkan pemeriksaan lengkap alasan penurunan kognisi: apakah akibat psikiatris, neurologis, medis, atau pengobatan; gejala kejiwaan karena gangguan jiwa, obat, atau kondisi fisik. Diagnosa adalah urusan pribadi Trump, papar Lee, tapi kepentingan bangsa-negara ialah apa ia mampu mengemban tugas presiden dan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata AS.

Pada awal Januari 2021, akhirnya masyarakat, para ahli, dan pemerintah AS sadar, bahwa kajian Lee dan kawan-kawannya benar. Tanggal 6 Januari 2021, saat sertifikasi hasil Pemilihan Presiden oleh Kongres AS berlangsung di Gedung Kongres Amerika Serikat; Trump mengadakan rapat umum siang hari di Ellipse, Washington, D.C.

Trump menyerukan agar hasil pemilihan presiden dibatalkan dan mendesak pendukungnya bergerak ke US Capitol untuk “menunjukkan kekuatan” dan “berjuang sekuat tenaga”. Sekitar pukul 14:15 massa Trump menerobos Gedung Kongres AS, mengganggu sertifikasi pemilihan presiden dan memicu evakuasi Kongres. Trump menonton TV dan memposting pesan di Twitter (sekarang X), tanpa menyerukan perusuh itu bubar. Saat itu, 140 polisi luka dan 5 orang tewas. Pentagon siaga satu antisipasi jika Trump menerapkan darurat militer.

Selain Lee, Daniel W. Drezner (2020) menulis buku The toddler in chief: what Donald Trump teaches us about the modern presidency tentang keadaan psikis Presiden Trump. Isinya, tiga sifat psikologis Trump merapuhkan kinerja presiden yakni: (1) Cepat marah atau emosi labil, (2) Rentang perhatian pendek, dan (3) Rapuh kendali impuls.

Zack Beauchamp pada Vox edisi 5 Oktober 2017, menyebut contoh ciri temperamen Presiden Trump, antara lain, ia pernah berteriak keras ke Kepala Staf Gedung Putih John Kelly; ia juga berteriak keras ke Jaksa Agung AS, Jeff Sessions; ia sengaja telepon Penasihat Keamanan AS, H. R. McMaster, untuk berteriak keras ke McMaster. Contoh-contoh ini baru pertamakali di ruang kepresidenan AS di Gedung Putih, sejak tahun 1787. Konstitusi AS adalah pinior dari demokrasi presidensial selama ini.

Keputusan Presiden Trump memerintahkan pembunuhan terhadap Panglima Pasdaran Iran, Jenderal Qasem Soleimani, hanya karena ia marah terhadap tayangan TV tentang massa yang didukung Iran, menyerang Kedutaan Besar AS di Bagdad, Irak. Begitu laporan Helene Cooper et al. pada The New York Times, edisi 4 Januari 2020.

Presiden Trump menolak konsensus ilmiah tentang perubahan iklim (Parker et al., 2016; Samenow, 2016); Presiden Trump mengurangi 40 persen anggaran riset energi terbarukan, dan Juni 2017, ia menolak ratifikasi Paris Agreement tentang mitigasi perubahan iklim; Presiden Trump membatalkan 100 aturan lingkungan-hayat Federal AS dan memperluas izin bor dan ekstrak sumber-sumber daya fosil bahkan di zona lindung Arktik; Trump mempermudah orang sakit jiwa parah beli senjata dan memisahkan 5.400 anak dari keluarga migran di perbatasan AS-Meksiko tahun 2017.

Mengapa kesehatan mental seorang presiden teramat penting, bahkan menentukan praktik demokrasi dan pemerintahan presidensial?

Pertama, rezim presidensial menetapkan jangka waktu-tetap (fixed-term) masa jabatan pemerintahan. Sedangkan pemerintahan parlementer sangat bergantung pada mosi tidak percaya parlemen sebagai mekanisme hukum yang elastis (elastic legal way) atau alat kontrol pemimpin yang terpilih melalui pemilu, tapi ternyata mentalnya kurang sehat atau kebijakannya berisiko.

Kedua, rezim presidensial menetapkan kepala negara dan kepala pemerintahan pada satu tangan presiden. Dalam praktiknya, ciri ini berisiko menggoda presiden cenderung otoriter (Manuel, et al., 1999; Linz, 1990a) dan rendah level rule of law (Alfred Stepan et al., 1993) yang menentukan pengakuan, jaminan, dan perlindungan hak-hak dasar rakyat serta hayat-hidup lingkungannya.

Ketiga, presiden adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata (war power). Tipe rezim presidensial ini sangat berbeda dari parlementer yakni kekuasaan perang, misalnya, dikontrol oleh parlemen. Kontrol semacam ini penting, sebab wujud sifat seseorang dapat dibatasi oleh situasi dan aturan organisasi (Christiansen et al., 2008; Schyns et al., 2018); Misalnya, kode etik, aturan ketat-jelas organisasi, sanksi terhadap tiap pelanggaran, dan transparansi dapat membatasi perilaku destruktif psikopat primer.

Psikopat vs Hikmat Bijaksana

Scott O. Lilienfeld et al. (2012) merilis pengaruh psikopat terhadap kinerja dan kepemimpinan 42 presiden AS, termasuk Presiden AS George B Bush saat itu. Data perkiraan tentang psikopat berasal dari data pribadi tiap presiden AS menurut ahli sejarah dan biografer, survei independen kepemimpinan presiden, dan indikator obyektif kinerja presiden. Hasil kajian itu dirilis oleh Journal of Personality and Social Psychology, 2012, Vol. 103, No. 3.

Unsur psikopat ‘Fearless Dominance’ (FD) atau berani tanpa rasa-takut umumnya berkaitan dengan efektivitas fungsi dan kepemimpinan presiden AS, manajemen krisis, persuasi, dan hubungan dengan Kongres AS dan negara sahabat; namun psikopat ‘Impulsive Antisociality’ (IA) dan Psychopathy Checklist–Revised (PCL-R) khususnya pola hidup impulsif dan anti-sosial (antisocial personality disorder/ASPD) memengaruhi kinerja buruk, resolusi pemakzulan presiden oleh kongres, integritas dan karakter negatif, dan kelakuan buruk presiden (Lilienfeld et al., 2012: 491).

Unsur FD psikopat mencakup haus-lapar dominasi dan kontrol orang lain, memukau, tanpa gentar (fisik), dan imun terhadap cemas; psikopat IA mencakup ingat-diri, manipulatif, rapuh kendali impuls, dan cenderung persalahkan pihak lain. Sedangkan label narsisme patologis sering dilabel ke Presiden Donald Trump, tulis Bandy Xenobia Lee (2019) dan Matthew M. Yalch (2021). Narsisme dan tanpa rasa bersalah, menurut Lilienfeld et al. (2012), termasuk fitur antar-pribadi dan psikopat afektif.

Psikopat tulen lazim memiliki mati-rasa, ingat-diri, dingin, tampil memukau bahkan menyenangkan, sembunyikan sisi gelap diri, kurang empati, manipulatif (Cleckley, 1951, 1976), dan tega keji terhadap orang lain (Babiak et al., 2010). Sebagai pemimpin psikopat mampu kendalikan sumber daya dan orang lain (Galinsky et al., 2015), mengamankan dan mempertahankan tahta-kuasa (Anderson et al., 214). Misalnya, intelijen AS, seperti CIA (Central Intelligence Agency), FBI (Federal Bureau Investigation), dan NSA (National Security Agency), sangat yakin bahwa Trump memakai jaringan Rusia agar menang Pilpres AS tahun 2016 (Rosenberg/The New York Times, 2017; Sanger, 2017).

Dari paparan hasil riset dan kajian para ahli tentang risiko pemimpin psikopat tersebut di atas, bagi bangsa Indonesia, tidak ada tempat bagi pemimpin psikopat. Sebab secara yuridis, susunan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, antara lain, ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’, dan ‘dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia’. Begitu amanat alinea 4 Pembukaan UUD 45.

Pemimpin psikopat selalu ingat-diri; fitur ini bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila. Psikopat tega bertindak keji terhadap orang lain; fitur ini bertentangan dengan sila ke-2 Pancasila tentang nilai kemanusiaan adil-beradab. Pemimpin psikopat lazim bertindak sesuai kalkulus untung-rugi; fitur psikopat ini tidak sesuai cita-cita bersama bangsa Indonesia: Negara-bangsa Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Pemimpin psikopat mampu menyusun dan mengikuti sasaran jangka-panjang, jika itu menghasilkan benefit bagi dirinya; fitur psikopat ini tidak sesuai dengan geistlichen hintergrund (filosofi) yang dianut para pahlawan dan pendiri Indonesia. “Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’,” papar Soekarno di depan Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 di Jakarta. Begitu pula filosofi pemerintahan ‘Republik’ dari Pasal 1 ayat 1 UUD 1945.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/12/21/135309465/risiko-pemimpin-psikopat-berkuasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke