Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sekaratnya Rasa Kemanusiaan di Indonesia

Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama

KOMPAS.com – Sebagai wujud kemanusiaan, tidak ada salahnya bagi kita untuk menilik kehidupan di panti asuhan. Karena bisa jadi, panti asuhan yang seharusnya menjadi rumah tempat bernaung, tempat mereka menerima kasih dan sayang, malah dimanfaatkan untuk mendulang uang.

Sudah lima tahun lalu, tetapi kasus Lili Rahmawati, selaku pemilik Panti Asuhan Tunas Bangsa, yang tertangkap tangan karena mengeksploitasi anak-anak untuk mengemis di jalanan tetap menggemparkan.

Bahkan, Lili juga bertanggung jawab penuh atas tewasnya bayi dalam keadaan tak wajar.

Lantas, apakah hanya Lili dengan panti asuhannya?

Aiman Witjaksono, Jurnalis Kompas TV, dalam siniarnya yang bertajuk “Sekaratnya Rasa Kemanusiaan di Indonesia” memaparkan fenomena-fenomena yang di luar akal sehat kemanusiaan.

Klitih di Yogyakarta

Tidak ada yang menyangka bahwa pelaku-pelaku klitih adalah remaja. Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan pada mulanya makna klitih adalah kegiatan keluar rumah yang dilakukan di malam hari untuk melepas kepenatan.

Tentu klitih yang dilakukan para remaja dengan melanggar hukum, yaitu menyerang masyarakat, berbeda dengan makna sebelumnya. Itu sebabnya, klitih di masa sekarang telah mengalami pergeseran makna, yakni bagian dari proses penerimaan para remaja sebelum diakui sebagai kelompok yang kerap meresahkan masyarakat.

Memang bukan lagi berita baru bila remaja berperilaku tidak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Bahkan, perilaku itu kerap dianggap sebagai masa peralihan dan pencarian jati diri.

Sayangnya, tidak sedikit remaja yang kurang bimbingan dan arahan menyebabkan mereka terjerumus pada hal-hal yang negatif, seperti klitih yang sifatnya kriminal dan anarkis.

Apakah pelajaran di sekolah dengan segala pendidikan kewarganegaraan dan penanaman Pancasila kurang? Jelas, munculnya klitih bukanlah tanggung jawab sekolah saja.

Perlu adanya kerja sama dari pelbagai elemen untuk mengatasi kenakalan remaja yang telah melanggar hukum ini. Terlebih, para remaja itu tidak memiliki kesadaran atas identitas menjadi warga Indonesia yang didasari oleh Pancasila. Karena mereka lebih memilih untuk diakui sebagai bagian dari kelompok yang melanggar hukum di masyarakat.

Pemerkosaan di Pesantren

Apakah vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan, pemerkosa 13 santri, adalah wujud keadilan? Banyak pandangan yang beragam.

Tidak dimungkiri kejahatan yang dilakukannya sangatlah luar biasa. Bukan saja pelanggaran nilai dan moral, melainkan kekejian yang dirinya lakukan mengakibatkan korban trauma dan penderitaan berkepanjangan.

Herry memanfaatkan kedudukannya sebagai pendidik kepada anak didiknya adalah bentuk dari relasi kuasa yang tidak berimbang.

Dengan dalih perintah yang harus diikuti, karena dirinya adalah guru, Herry memerkosa korbannya yang pada saat kejadian masih berada di bawah umur. Terlebih, perbuatannya itu dia lakukan dalam kurun waktu 2016—2021.

Dr. Samuel D. Smithyman, ahli psikologi dari Amerika, menjelaskan bahwa ada tiga elemen yang kerap ada dalam diri pemerkosa, yaitu kurangnya empati, narsisme, dan kebencian terhadap perempuan.

Apakah ketiga elemen itu ada pada diri Herry? Untuk mengetahuinya harus diadakan penelitian lebih lanjut. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan adalah tidak adanya rasa kemanusiaan dalam diri Herry.

Herry merasa dirinya superior karena dapat membawa agama sebagai alat yang menjadikannya predator yang kiranya tidak akan pernah mendapat maaf.

Kerangkeng Bupati Langkat

Sudah 77 tahun merdeka, tetapi ditemukan adanya sel kerangkeng yang menyandera dan menelan korban jiwa. Terlebih, pemiliknya adalah mantan Bupati nonaktif Langkat yang seharusnya adalah contoh teladan masyarakat.

Dengan alibi sebagai upaya rehabilitasi, sel kerangkeng tersebut menjadi saksi bisu atas penganiayaan dan perbudakan terhadap para pekerja sawit. Selain itu, kejahatan yang dilakukan oleh pemilik sel seperti mengajak Indonesia ke era sebelum kemerdekaan.

Sebuah tindakan kontradiktif dengan Pembukaan UUD 1945 yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno, yaitu “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”.

Dengarkan investigasi-investigasi eksklusif dan menarik lainnya yang dilakukan Aiman dalam siniar Aiman Witjaksono.

Ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap episode terbarunya. Akses sekarang juga episode “Sekaratnya Rasa Kemanusiaan di Indonesia” melalui tautan berikut. https://dik.si/aiman_peduli.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/16/210000565/sekaratnya-rasa-kemanusiaan-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke