Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

NU dan Manusia Moderat

Hal itu bisa dilacak dari aliran-aliran keagamaan yang dipilih oleh pendiri NU.

Di buku Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah, Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, mengatakan bahwa mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dipegang NU adalah mazhab yang dianut umat Islam Nusantara, yaitu dalam fikih mengambil dari Imam Syafi'i, dalam akidah mengambil dari Imam Asy'ari, dan dalam tasawuf mengambil dari Imam Ghazali.” (h. 15)

Tiga mazhab tersebut merupakan mazhab moderat.

Fikih Syafi'i dinyatakan sebagai fikih moderat karena fikih Syafi'i mengambil jalan tengah antara fikih tradisional Maliki (ahlu al-hadits) dan fikih rasional Hanafi (ahlu al-ra’yi).

Moderasi fikih Syafi'i tampak pada acuannya, yaitu Al-Quran, Al-Sunnah Nabi, Ijma’ (kesepakatan ulama) dan Qiyas.

Dengan mengacu pada kesepakatan para ulama (Ijma') dan Sunnah Nabi, di samping Al-Quran, fikih Syafi'i merepresentasikan diri sebagai fikih Ahlus Sunnah wal Jam'ah.

Dengan melakukan Qiyas, fikih Syafi'i memberi ruang bagi rasionalitas.

Oleh karena itu, fikih Syafi'i dinyatakan sebagai fikih pertengahan di antara fikih tradisional dan fikih rasional.

Akidah Asy'ariyah merupakan akidah moderat, karena akidah Asy’ariyah mengambil jalan tengah antara akidah Hanbaliyah dan akidah Mu'tazilah.

Akidah Hanbaliyah mengacu pada Al-Quran dan Sunnah dan menolak menakwilkannya serta terjatuh pada pandangan antropomorfisme (tajsîm) tentang Tuhan.

Akidah Mu'tazilah mengedepankan rasio daripada wahyu, menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang tidak selaras dengan akal, dan mensucikan Tuhan dari segala keserupaan dengan hal lain (tanzîh) sampai batas menafikan sifat-sifat Tuhan.

Sebagai jalan tengah antara dua aliran teologis tersebut, akidah Asy'ariyah mengacu pada wahyu tapi tidak terjatuh pada antroporfisme, sehingga tetap menggunakan rasio yang menyelarasi syariat.

Tasawuf Al-Ghazali adalah tasawuf moderat. Posisinya di antara tasawuf positif dan tasawuf negatif.

Tasawuf positif adalah tasawuf filosofis yang bersikap toleran kepada segala macam kebijaksaan dan kritis terhadap ketidakberesan kondisi sosial dan politik.

Tasawuf negatif dimotori oleh teologi predestinasi (jabbâriyyah), yang cenderung menerima kondisi yang ada tanpa sikap kritis.

Sebagai penengah dari dua tasawuf tersebut, tasawuf Al-Ghazali mengungkapkan berbagai dimensi pengalaman rohani dan berbagai rahasia jiwa manusia, mengutamakan keutamaan-keutamaan moralitas, menunjukkan sisi-sisi toleran dan cinta kasih, serta menyelaraskan ekterioritas syariat dan interioritas tasawuf. (Mahmud Ismail, Sûsiyûlûjiyâ al-Fikr al-Islâmiy, Vol III, h. 235-237).

Seperti disinggung di atas, Nahdlatul Ulama merujuk pada fikih Syafi'i, akidah Asy'ari dan tasawuf Ghazali.

Sejauh tiga mazhab tersebut merupakan mazhab-mazhab moderat, maka NU berada di ranah moderatisme.

Apakah moderatisme NU merupakan model keberislaman baru? Bukan! Islam pada dasarnya adalah agama moderat.

Hal itu antara lain tampak pada ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikianlah, kami jadikan kalian sebagai ummat wasath untuk menjadi saksi bagi umat manusia”.

Muhammad Quraish Shihab (Al-Quran dan Maknanya, h. 22) mengartikan ummat wasath dengan umat pertengahan, moderat dan teladan.

Muhammad Abduh (Al-A'mâl Al-Kâmilah, vol. 4, h. 318) memaknai ummat wasath dengan umat yang tidak lebih (ifrâth) atau tidak kurang (tafrîth) dari yang diharapkan.

Sebagai posisi di antara ifrâth dan tafrîth, wasath berarti tidak ekstrem. Berdasarkan ayat tersebut, menjadi Muslim dituntut menjadi moderat.

Moderatisme merupakan panduan berpikir dan bertindak seorang Muslim, di mana orang NU bukan pengecualian.

Pendiri NU mengejejawantahkan moderatisme dengan memilih mazhab-mazhab moderat sebagaimana disebut di atas sebagai pegangan NU.

Warga NU memang perlu senantiasa mengamalkan mazhab pilihan pendiri NU itu, namun yang lebih penting daripada itu adalah senantiasa menjadikan moderatisme sebagai acuan dalam berpikir dan bertindak, baik di ranah personal maupun di ranah sosial.

Sebagai pedoman berpikir dan bertindak, moderatisme diejawantahkan dengan menjaga diri terjatuh pada ekstremisme. Caranya, dengan berpikir sebelum bertindak.

Mempertimbangkan pilihan-pilihan dalam kerangka menghindari kemudaratan dan meraih kemaslahatan. Menemukan jalan tengah yang dapat merangkul berbagai pihak yang bersiteru.

Di NU, moderatisme itu dipandu antara lain oleh prinsip “menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi kebaruan yang lebih baik”.

Prinsip tersebut merupakan prinsip moderat yang mengatasi gesekan pendukung hal ihwal lama dan pendukung hal ihwal baru.

Dalam terang prinsip tersebut, NU diarahkan untuk tidak terpaku pada hal ihwal lama dan tidak terseret pada segala yang baru.

Filter aksiologis diterapkan dalam menghadapi hal ihwal lama dan kebaruan. Sejauh hal lama masih dianggap bagus, maka hal lama itu dilestarikan.

Namun jika hal lama sudah tidak mengandung kebaikan, maka hal lama itu pun ditinggalkan untuk meraih hal baru yang lebih bagus dan bisa menyempurnakan hal lama.

Bukankah dalam kehidupan ini, kita selalu berhadapan dengan hal ihwal lama, hal ihwal baru dan beragam ekstremisme, sementara sikap moderat patut dijadikan sebagai pedoman untuk mengatasi itu semua?

https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/09/184154465/nu-dan-manusia-moderat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke