Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Video Viral Ada Plastik di Dalam Cumi-cumi, Benda Apakah Itu?

Video itu berasal dari unggahan TikTok @wdh__, pada Minggu (3/5/2021).

Orang dalam video itu menyebutkan, benda di dalam cumi-cumi yang sedang ia makan adalah plastik.

Dalam video itu, dia juga mengimbau agar tidak buang sampah di laut karena menganggap benda itu adalah plastik dari sampah di laut yang tertelan cumi-cumi.

Betulkah benda yang disebutkan itu adalah plastik?

Anatomi cumi-cumi

Dilasir dari Science Direct, cumi-cumi merupakan hewan laut dari famili Lolinginidae dengan genus Lolious yang tersebar di seluruh perairan Indonesia.

Cumi-cumi hidup di perairan dengan suhu 8 hingga 32 derajat Celcius.

Hewan ini memiliki delapan lengan dan dua tentakel yang mereka gunakan untuk menangkap mangsanya.

Selain itu, cumi-cumi merupakan hewan demersal atau semi pelagis yang hidup di kolom perairan hingga kedalaman 400 m dengan pergerakan diurnal.

Makanan utama cumi-cumi adalah sejenis plankton dan biota laut yang ukurannya lebih kecil dibandingkan tubuhnya.

Tulang rawan

Benda menyerupai plastik di dalam tubuh cumi-cumi bukan benar-benar plastik. Itu adalah tulang rawan cumi-cumi.

Cumi-cumi memiliki tulang rawan kranial Todarodes pacificus.

Melansir hespruceeats.com, pada bagian tubuh cumi-cumi berisi sepotong tulang rawan yang tipis dan bening.

Tulang rawan ini juga biasa ditemui di hewan laut sejenisnya, seperti sotong.

Tulang rawan cumi-cumi terlihat seperti pecahan kaca atau plastik yang sangat tipis.

Tulang rawan ini wajar ditemukan pada bagian tubuh cumi-cumi dan sotong. Meski bagian ini tidak dapat dimakan, tetapi tidak berbahaya.

Mengutip Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), cumi-cumi merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia.

Hewan laut ini telah menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia yang diproduksi dalam bentuk beku, asin, dikeringkan atau dikalengkan.

Akan tetapi, informasi mengenai biologi, ekologi, habitat dan sebaran cumi-cumi belum banyak diketahui.

Penelitian terbaru

Penelitian terbaru oleh imuwan material Penn State University Abdon Pena-Francesch dan Melik Demirel menunjukkan bahwa cumi-cumi bisa jadi solusi dari pencemaran sampah plastik di laut.

Melansir Vice.com, cumi-cumi telah mengembangkan protein kompleks di rongga mangkuk pengisap yang melapisi tentakelnya.

Protein itu digunakan untuk membangun gigi cincin cumi-cumi (SRT), lingkaran runcing dari bahan biopolimer di dalam pengisap yang memungkinkan hewan untuk menangkap mangsanya.

Kedua ilmuwan itu membuktikan bahwa SRT dapat direkayasa sebagai pengganti plastik yang dapat terurai secara hayati.

Hal ini akan jadi masalah baru jika cumi-cumi ditangkap hanya untuk dijadikan pengganti plastik.

Akan tetapi, studi oleh tim Frontiers in Chemistry, meneliti bakteri seperti E. coli yang dapat direkayasa secara genetik untuk menghasilkan protein khusus dalam jumlah industri yang membuat SRT begitu fleksibel, kuat, dan ramah lingkungan.

"Protein cumi-cumi dapat digunakan untuk menghasilkan bahan generasi berikutnya untuk berbagai bidang termasuk energi dan biomedis, serta sektor keamanan dan pertahanan," kata Demirel, kepada Vice, 22 Februari 2019.

SRT sintetis dapat diintegrasikan ke dalam tekstil sehingga pakaian lebih sedikit menyerap serat sintetis ke dalam mesin cuci, yang secara mengejutkan merupakan sumber polusi plastik laut yang sangat besar.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/03/193200565/video-viral-ada-plastik-di-dalam-cumi-cumi-benda-apakah-itu-

Terkini Lainnya

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

Tren
Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Tren
Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Tren
Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Tren
Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Jejak Karya Joko Pinurbo, Merakit Celana dan Menyuguhkan Khong Guan

Tren
10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

10 Hewan Endemik yang Hanya Ada di Indonesia, Ada Spesies Burung hingga Monyet

Tren
Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal 'Grammar'

Kemendikbud Akan Wajibkan Pelajaran Bahasa Inggris untuk SD, Pakar Pendidikan: Bukan Menghafal "Grammar"

Tren
Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Semifinal Piala Asia U23 Indonesia Vs Uzbekistan Tanpa Rafael Struick, Ini Kata Asisten Pelatih Timnas

Tren
Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Gempa M 4,8 Guncang Banten, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami

Tren
Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Soal Warung Madura Diimbau Tak Buka 24 Jam, Sosiolog: Ada Sejarah Tersendiri

Tren
Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Kapan Pertandingan Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024?

Tren
Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Penelitian Ungkap Memelihara Anjing Bantu Pikiran Fokus dan Rileks

Tren
Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Swedia Menjadi Negara Pertama yang Menolak Penerapan VAR, Apa Alasannya?

Tren
Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Bisakah BPJS Kesehatan Digunakan di Luar Kota Tanpa Pindah Faskes?

Tren
BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

BMKG Ungkap Penyebab Cuaca Panas di Indonesia pada April 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke