Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai soal UU ITE, Kapolri Minta Kedepankan Restorative Justice, Ini Kata Ahli Hukum UGM

KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta penyidik Polri mengedepankan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Mengutip Kompas.com, Selasa (23/2/2021) hal itu dia sampaikan melalui surat edaran nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021.

"Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara," tulis Kapolri dalam SE.

Korban tidak boleh diwakilkan

Selain itu, Sigit juga meminta agar sejak penerimaan laporan, penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban yang tidak boleh diwakilkan.

Polisi memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

Kepada para pihak dan korban yang akan mengambil langkah damai, Sigit meminta penyidik memprioritaskan restorative justice.

Apa itu restorative justice?

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono mengatakan, pendekatan restoratif memiliki makna beragam, baik secara pendekatan maupun sebagai metode.

Namun secara akademis, dia mengatakan, pendekatan restoratif mengedepankan adanya konsep keadilan untuk semua, dan memulihkan hubungan yang keadaannya telah rusak karena adanya perbuatan kejahatan.

"Selama ini, keadilan itu biasanya tidak melibatkan keadilan korban tapi tekanan pada pelaku dan masyarakat," kata Sri Wiyanti, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (23/2/2021).

Menurut Sri Wiyanti, pemulihan dalam konteks restoratif adalah berpijak pada kepentingan dan kebutuhan korban, serta penyadaran atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang itu adalah perbuatan yang keliru.


Pendidikan kepada pelaku

Kemudian secara metode, Sri Wiyanti menuturkan, praktik restorative justice bisa memiliki banyak metode, salah satunya dengan melakukan pertemuan yang menghubungkan antara kepentingan korban untuk pulih dengan pendidikan pelaku untuk menyadari.

Tidak hanya itu, metode restorative justice juga bisa dilakukan sampai pada tahap penyesalan dan termasuk memberikan kompensasi terhadap korban.

"Jadi bisa jadi seperti mediasi. Cuma kalau mediasi itu lebih kepada ada relasi yang setara antara berbagai pihak yang bersengketa, dalam konteks hukum pidana, proses menemukan ini memiliki makna lebih untuk melindungi kepentingan korban," ujar Sri Wiyanti.

Kebutuhan korban

Meski demikian, Sri Wiyanti mengatakan, dalam praktik-praktik yang ada, pendekatan atau metode yang sering diklaim sebagai restorative justice justru tidak serta-merta mempertimbangkan kebutuhan korban.

Akan tetapi menurut dia, klaim restorative justice hanya untuk kepentingan pelaku atau aparat penegak hukum semata, demi efektifitas atau beban yang tidak berlebih.

"Masalah lain adalah restorative justice itu seolah-olah menggantikan sistem hukum yang ada. Ini menurut saya tidak boleh," ujar Sri Wiyanti.

Sehubungan dengan pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara UU ITE, Sri Wiyanti mengatakan, dalam kasus ITE memang UU tersebut di dalam penjelasannya mengedepankan ultimum remidium, yakni hukum pidana merupakan jalan terakhir.

"Nah, tapi memang ada dualisme mengingat di dalam UU ITE juga merujuk penggunaan KUHP yang tekanannya bukan ulitimum remidium, tapi delik biasa," kata dia.

"Nah, apakah prinsip ultimum remidium itu dimungkinkan dalam praktiknya maka sangat tergantung dari bunyi pasal," imbuhnya.


Instruksi Kapolri

Melalui SE nomor SE/2/II/2021, Kapolri Listyo Sigit Prabowo meminta penyidik mengedepankan upaya preemtif dan preventif.

Upaya tersebut dilakukan melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Kemudian, Sigit menginstruksikan, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana.

Tersangka meminta maaf

Penyidik juga dilarang melakukan penahanan tersangka yang sudah meminta maaf kepada korban. Penyidik pun diminta membuka ruang lagi untuk mediasi antara kedua pihak.

"Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," kata Sigit.

Bertalian dengan surat itu, Kapolri jug menerbitkan Surat Telegram yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE.

Surat Telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021 itu tertanggal 22 Februari 2021, ditandatangani Wakabareskrim Irjen Wahyu Hadiningrat atas nama Kapolri.

Dalam Surat Telegram, Kapolri mengklasifikasikan perkara penanganan UU ITE yang bisa diselesaikan dengan restorative justice dan mana yang tidak, beserta rujukan pasal-pasalnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/24/160000165/ramai-soal-uu-ite-kapolri-minta-kedepankan-restorative-justice-ini-kata

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke