Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Produksi Kakao Indonesia?

Akan tetapi, tahukah Anda bahwa bahan dasar cokelat, yaitu kakao merupakan produk unggulan Indonesia? Bagaimana produksi kakao di Tanah Air?

Peneliti Agribisnis Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Diany Faila Sophia Hartatri, menyebutkan, produksi kakao Indonesia semakin menurun setiap tahunnya.

"Produksi kakao di Indonesia itu dari tahun ke tahun semakin menurun, padahal demand-nya baik dari pasar domestik maupun internasional semakin meningkat," kata Diany saat dihubungi Kompas.com, Senin (15/2/2021).

Produksi per tahun

Data Kementerian Pertanian menyebutkan, pada 2019, kegiatan pengembangan kakao dialokasikan seluas 7.730 hektar melalui kegiatan peremajaan dan perluasan lahan kakao.

Dari luas tanah tersebut, Diany menjelaskan, versi produksi Ditjen Perkebunan dapat mencapai sekitar 600 ribu ton per tahun.

Ia mengatakan, ada dua versi mengenai produksi kakao di Indonesia. Versi lainnya dari Organisasi Internasional Kakao (ICCO) hanya sekitar 200 ribu ton.

Perbedaan angka tersebut, menurut Diany akibat pengambilan sampel data yang berbeda.

"Pendekatan datanya. ICCO mungkin pakai data di Kemendag jadi jumlah datanya di ekspor atau diperdagangkan. Kalau di Kementan itu data dari rakyat atau di daerah-daerah begitu," jelas Diany.

Wilayah penghasil kakao

Berikut ini adalah sentra-sentra wilayah penghasil kakao terbesat di Indonesia:

  • Sulawesi Tengah
  • Sulawesi Selatan
  • Sulawesi Utara
  • Sulawesu Barat
  • Sumatera Barat

Dari lima wilayah penghasil terbanyak tersebut, produk kakao di Indonesia sebagian besar memiliki lemak dengan titik leleh yang tinggi.

"Jadi kalau dari hasil riset, lemak kakao Indonesia punya titik leleh yang lebih tinggi. Memang diperlukan untuk mencampur biji kakao dari negara lain," kata Diany.

Kekurangannya dari segi komersial ialah cita rasa dan aroma yang kalah dari produk lain. Diany menjelaskan karena kurangnya proses fermentasi.

"Meski dilihat dari cita rasanya yang komersial itu kita biasanya dikenal dengan kakao kualitas rendah, karena sebagian besar petani tidak melakukan fermentasi," ujar Diany.

Hal ini disebabkan oleh pasar yang memang lebih banyak membeli kakao tanpa fermentasi. Petani kakao pun hanya diberi perbedaan harga per kilo kisaran Rp 2.000 sampai Rp 3.000 saja untuk kakao fermentasi. Sementara tambahan waktu fermentasi membutuhkan waktu 3-4 hari.

"Jadi dibandingkan dengan apa yang mereka dapat itu, selisihnya enggak sepadan gitu," tambah Diany.

Adapun untuk harga biji kakao kering ada pada kisaran Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per kilogram.

Produk olahan

Selain diolah menjadi coklat batangan, bubuk, serta produk makanan lainnya, kakao dapat diolah menjadi berbagai macam produk lain.

"Sudah berkembang, sudah sangat bervariasi untuk produk-produk kakao ini," kata Diany.

Adapun lemak kakao dapat diolah menjadi produk berupa:

  • Lipbalm
  • Moisturizing
  • Lulur
  • Suplemen
  • Sabun

Bahan lain dari kakao, seperti pulp (lapisan pada biji) dan kulitnya, dapat diolah menjadi:

  • Sabun
  • Nata de cocoa
  • Pakan ternak

Produk-produk tersebut dikembangkan dan dipasarkan juga oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember.

Kakao menjadi produk unggulan ekspor Indonesia, bahkan Indonesia menjadi tuan rumah konferensi kakao internasional pada 23-26 Mei 2021 mendatang.

Diany sangat menyayangkan penurunan produksi kakao, padahal jumlah permintaan meningkat. Penurunan tersebut ditandai dengan posisi produksi Indonesia yang digeser oleh negara-negara lain.

"Lima atau empat tahun lalu kita masih di posisi 3, sekarang kita ada di posisi 6. Jadi jauh lah posisi Indonesia dalam produksi kakao dunia," kata dia.

Ia berharap ada upaya dari pemerintah untuk memajukan kembali sektor kakao di Indonesia, seperti melakukan dengan peremajaan, perluasan lahan, edukasi, serta kesejahteraan petani.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/16/063000165/bagaimana-produksi-kakao-indonesia-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke