KOMPAS.com - Sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.17 WIB.
Sapardi mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.
Kabar tersebut dibenarkan oleh Kepala Biro Humas dan Kantor Informasi Publik Universitas Indonesia (UI) Amelita Lusia. Namun sejauh ini belum diketahui penyebab pasti meninggalnya Sapardi.
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang akademisi sekaligus sastrawan besar di Indonesia.
Ia telah menghasilkan deretan karya dan memperoleh banyak penghargaan atas perannya di bidang sastra.
Profil Sapardi Djoko Damono
Mengutip Harian Kompas, 1 Agustus 1993, Sapardi lahir di Solo (Jawa Tengah), 20 Maret 1943 dari pasangan Sadyoko dan Sapariah.
Ia merupakan anak tertua dari dua bersaudara.
Sapardi menempuh pendidikannya hingga SMA di Solo. Kemudian, ia mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan memperoleh gelarnya pada 1964.
Ia juga sempat menempuh pendidikan non gelar di University of Hawaii, yaitu pada 1970-1971.
Pada tahun 1989, ia menyelesaikan program doktornya dengan predikat sangat memuaskan di UI dengan disertasi mengenai novel-novel di Jawa tahun 1950-an.
Kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia pada tahun 1995.
Berkarier di bidang pendidikan
Mengutip laman resmi Kemdikbud, Sapardi diketahui memiliki riwayat karier yang panjang di bidang pendidikan.
Ia pernah menjadi dosen tetap, Ketua Jurusan Bahasa Inggris, IKIP Malang Cabang Madiun, tahun 1964-1968.
Kemudian, Sapardi diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, tahun 1968-1973.
Sejak 1974, ia bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia.
Dia menjabat Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia tahun 1979-1982, lalu diangkat sebagai Pembantu Dekan I pada 1982-1996 dan akhirnya menjabat Dekan pada 1996-1999 di fakultas dan universitas yang sama.
Pada 2005, ia memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Namun, Sapardi masih diberi tugas sebagai promotor konsultan dan penguji di beberapa perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa.
Selain mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Indonesia, Sapardi Djoko Damono juga aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra pada 1970-1980-an.
Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.
Pada 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia pun mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.
Sapardi juga tercatat sebagai anggota Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV).
Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi Djoko Damono juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional, seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971) dan Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra.
Dalam dunia sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono mempunyai peran penting.
Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an.
Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.
Puisi Sapardi Djoko Damono banyak dikagumi karena banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19.
Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), dan Arloji (1998). Serta Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).
Sebagai seorang pakar sastra, Sapardi diketahui menulis beberapa buku yang sangat penting, di antaranya adalah:
Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia.
Hasil terjemahan tersebut antara lain Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James), Puisi Brasilia Modern, George Siferis, Sepilihan Sajak, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel , Afrika yang Resah (Song of Lowino dan Song of Ocol oleh Okot p'Bitek), Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O'Neill), Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck), dan sebagainya.
Penghargaan
Atas peran dan karyanya dalam dunia sastra, Sapardi Djoko Damono pernah memperoleh sederet penghargaan dan hadiah sastra, di antaranya adalah sebagai berikut:
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/19/105049965/tutup-usia-berikut-profil-dan-karya-sapardi-djoko-damono