Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Senjakala Kebudayaan Nusaraya

SEMULA, budaya Nusantara menuntun anak-anak kandungnya menerima agama yang datang dari Timur Tengah.

Lalu yang terjadi kemudian, mereka malah membunuh kebudayaannya sendiri secara membabi buta, dalam kurun ratusan tahun.

Sebentar... Jika kalimat ini tidak kita telaah dengan baik, niscaya yang mencuat malah perbalahan.

Padahal kami sama sekali tidak sedang menyoal doktrin-dogma yang diajarkan tiga agama samawi tersebut. Tapi, lebih menitikberatkan bahasan pada laku keberagamaan yang salah kaprah—untuk tidak menyebutnya salah arah.

Apa yang kami teriakan di atas, sejatinya juga pernah dan masih terjadi di belahan barat bumi kita.

Di Eropa dan Amerika, misalnya, agama masih sering berbenturan dengan sains. Biologi molekuluer dan astrofisika, adalah dua cabang sains yang begitu sengit menghadapi penentangan dari agama.

Sementara di negeri ini, hal itu tak terlalu kentara. Malah yang lebih menonjol adalah penolakan khazanah kebudayaan, yang telah mengakar ribuan tahun silam, bahkan sebelum Islam hadir di muka bumi. Hal ini merujuk fakta bahwa Islam merupakan agama yang tumbuh subur di Zamrud Khatulistiwa.

Menyelami dengan cermat

Risalah sederhana ini hanya ingin mengajak sedulur sedanten yang mendaku Muslim, agar menyelami lagi ajaran agamanya secara cermat.

Perhatikanlah, saudaraku, betapa adzan dan tilawatil Quran itu sebenarnya kebudayaan suara. Di dalamnya ada harmonisasi bunyi dan tangga nada. Dalam matra budaya, masuk dalam kategori seni olah vokal.

Salat merupakan kebudayaan tubuh. Haji tak ubahnya festival akbar kemanusiaan yang berlangsung tanpa panitia penyelenggara.

Puasa Ramadhan sama belaka dengan ritus bangsa Nusantara yang sudah berlangsung sejak lama.

Lebaran pun kental dipengaruhi unsur kebudayaan masyarakat Quraisy di Makkah—yang mereka warisi dari tradisi bangsa Farsi.

Sebelum lebih jauh, perlu kiranya kita mengenali apa itu tradisi dan kebudayaan.

Tradisi, sama dengan adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, juga penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang terbaik dan benar.

Sedang kebudayaan, hasil kegiatan dan penciptaan yang bersumber dari batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, atau keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalaman, lalu menjadi pedoman tingkah lakunya.

Jika penalaran itu bisa terpahami, maka mustahil Anda menolak tradisi sungkeman pada hari raya Idul Fitri.

Leluhur

Bila Anda lahir dari rahim kebudayaan Jawa, senyatanya laku itu adalah bagian utama dari cara kita berterimakasih dan bersyukur atas kehidupan yang diwarisi dari orangtua, yang juga mereka dapatkan dari para indung, dan teranugerahkan melalui para biyang.

Begitu seterusnya hingga kemudian kita berkenalan dengan istilah yang disebut sebagai leluhur.

Luluri, pitara (para leluhur), atau gantung siwur (nenek moyang kedelapan), berasal dari kosa kata Sansekerta.

Hal itu menunjukkan keterangan tentang; dari siapa kita berasal. Semua anak manusia pasti akan mencari akar pohon keluarganya—dengan segala cara.

Kehadiran kita di dunia ini, melewati proses kelahiran yang silih berganti. Ada sekian banyak manusia yang sudah mendahului kita, demi memunculkan seseorang paling kiwari.

Ya, dalam diri kita sekarang, tersimpan data melimpah seputar para penyusun gen, DNA, dan mitokondria yang kita bawa. Kita bukanlah pribadi tunggal tak berjejak.

Terlepas dari segala romantika yang melingkunginya, dan kerumitan penelusuran yang harus dilakukan, perlu juga disadari betapa sejatinya setiap kita sedang menyusun sebuah riwayat panjang di kemudian hari.

Suka atau tidak, kita telah mencatatkan diri dalam lembaran sejarah, sebagai biyang dari anak manusia yang akan datang—dan kelak mereka akan menyebut kita sebagai leluhurnya.

Masyarakat Sunda buhun mengenal suatu tatanan adab yang berbunyi: Indung tunggul rahayu, Bapak tangkal darajat. Ibu tempat kesejahteraan, Bapak tempat kehormatan.

Konsep indung itu pun masih terbagi tiga. Indung nu Maturan (Istri), Indung nu Ngalahirkeun (Ibu biologis), Indung nu Nangtukeun (Nenek).

Mitokondria

Mari sejenak kita menjelajahi ranah biologi molekuler sebagaimana yang digelorakan Richard Dawkins.

Etholog, biolog, dan evolusionis ini, menerangkan dengan cara mengagumkan dalam dua karyanya, The Selfish Gene (1976), dan River Out of Eden: A Darwinian View of Life (1995), terkait mitokondria yang tersimpan dalam tubuh nenek moyang kita.

Nenek yang dimaksud di sini bukan sekadar istilah, namun mengarah pada ibu sebagai sumber energi kehidupan.

Mitokondria berbentuk benang granula. Letaknya tersebar acak di sitoplasma, atau menempati lokasi tertentu di dalam sel, misalnya pada sel otot lurik. Ia mempunyai dua lapis membran: luar dan dalam.

Sekarang cobalah renungkan sejenak. Bagaimana caranya leluhur kita menggali khazanah pengetahuan sedemikian rupa, dan kemudian dibuktikan oleh Dawkins?

Fakta kehidupan dan dunia ilmiah juga telah menjabarkan, bahwa rekam jejak anak manusia telah ditentukan secara rigid oleh garis keturunan neneknya.

Mitokondria adalah hadiah ibu untuk dunia yang kita jalani sekarang.

Kebudayaan nusaraya

Mari kita kembali ke soal utama. Negeri Bahari yang menjadi tempat kita bermukim ini, telah jamak diketahui dunia sebagai lahan subur peradaban berkebudayaan tinggi. Karena dihuni desiliunan sungai mitokondria dengan ragam tradisi-budaya.

Tengoklah betapa indah nan menawan pakaian tradisional suku bangsa bahari jika disejajarkan dengan produk bangsa lain.

Belum lagi kita bincangkan susastra, khazanah metalurgi, kuliner, rumah adat, jenis tarian, teater rakyat, arsitektur, alat musik yang melahirkan keindahan bunyi tak terperi macam gamelan, warisan budaya tak benda seperti silaturahim, dan gotong-royong.

Prof. Dr. Azyumardi Azra suatu kali bercerita. Ketika di Mesir, ia shalat Maghrib di sebuah masjid dengan memakai kain sarung dan batik.

Lantas Sang Imam menegur cara berpakaiannya. Intelektual Muslim kebanggaan Indonesia itu pun menjawab enteng, “Di negara saya pakaian seperti itu hanya dipakai wanita.”

Anekdot ini menggambarkan bahwa agama bukan sebatas pakaian belaka. Padahal pakaian khas Arab yang bernama ghamis, jelas bukan pakaian agama—yang sebenarnya adalah takwa.

Menilik kondisi kebudayaan kiwari kita saat ini, sejatinya sungguh sangat memprihatinkan.

Sudahlah tak melakukan temuan baru, dan enggan melestarikan, yang terjadi malah penggerusan tak karuan. Ini jelas merupakan pengkhianatan pada leluhur kita bangsa asli kepulauan: Nusaraya.

Sejauh ini, hanya masyarakat Bali yang dengan setia merawat-meruwat tinggalan kebudayaan yang masih mereka miliki dalam segala segi kehidupan.

Pada saat yang sama, mereka tak kehabisan cara untuk menerima dunia modern yang terus menggeliat.

Akhir kalam. Sebelum negeri ini menjadi tuna budaya, mari sama kita insyafi kesalahan yang berjela-jela. Kembalilah pada pangkuan Ibu Pertiwi.

Sebagai anak turunan bangsa penjelajah samudera, sudah selayaknya kita menjadikan jaladhi (samudra) selaku wahana pengenalan diri.

Jika pikiran dan hati kita sudah seluas segara, niscaya apa pun yang tercebur di dalamnya takkan merusak jati diri kita selaku pewaris sah Negeri Bahari yang gemah ripah.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/11/155837965/senjakala-kebudayaan-nusaraya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke