Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Napi Asimilasi Kembali Berbuat Kriminal? Ini Analisisnya...

KOMPAS.com - Polri menangkap kembali 13 orang narapidana (napi) yang melakukan kejahatan setelah sebelumnya mendapat asimilasi dan pembebasan bersyarat terkait wabah Covid-19.

Pembebasan mereka berdasarkan ketentuan yang diatur dalam keputusan Kemenkumham nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Salah satu pembebasannya karena para tahanan dinilai sangat rentan terhadap penyebaran virus corona.

Lalu mengapa para napi tersebut kembali berulah ketika kembali di tengah masyarakat?

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, setidaknya ada 4 kemungkinan mengapa mereka kembali berulah:

Menurut Drajat, kemungkinan pertama adalah hukuman yang diberikan tidak membuat para napi jera.

"Hukuman pada dasarnya dipakai untuk membuat pelaku atau pelanggar hukum mengalami pengucilan. Represif bukan restitutif," ujar Drajat pada Kompas.com, Sabtu (18/4/2020).

Lanjutnya, represif artinya ditekan, dikucilkan, dan dijauhkan dari keluarga, teman-temannya, serta dunia luar supaya dia jera.

"Nah rupanya hukuman seperti itu pada beberapa orang napi tidak membuatnya jera. Kenapa? Karena bisa jadi hukuman itu ternyata tidak menyulitkan dia," katanya.

Drajat menjelaskan, ketika napi berada di dalam penjara ada yang bisa bergaul dengan baik, mendapat makan secara rutin, dan hal-hal lain yang justru memudahkan hidupnya. Sehingga napi betah di penjara dan tidak merasa jera.

Kemungkinan kedua menurut Drajat adalah karena tidak adanya persiapan untuk bertahan hidup di dunia luar.

Biasanya sebelum para napi dibebaskan, ada proses moderasi untuk menyiapkan dia beradaptasi dengan dunia atau pemasyarakatan.

Yang dimaksud pemasyarakatan adalah dia kembali ke masyarakat, sehingga harus mengikuti norma-norma yang ada di masyarakat. Proses tersebut dimediasi oleh penjara.

"Penjara sebenarnya punya fungsi untuk melatih orang, tidak sekadar mengucilkan, tidak sekadar represif tapi juga melatih untuk dia ketika keluar dia siap," ujarnya.

Ada persiapan dari segi hukum, budaya, ekonomi (termasuk bagaimana mencari pekerjaan), mental, dan spiritual.

Ketika para napi keluar dengan persiapan yang belum tuntas, akibatnya di luar mereka tidak mengalami kepatuhan.

Para napi dikeluarkan karena aspek kemanusiaan, supaya para napi tidak tertular Covid-19.

Sehingga menurutnya kemungkinan mediasinya di penjara belum selesai atau tidak ada mediasi seperti itu.

Selain hal di atas, sebab selanjutnya yakni para napi tidak memiliki pekerjaan karena mereka ditahan sekian lama di penjara.

Ada yang tidak punya tabungan, ada juga yang tabungannya sudah habis. Kecuali bagi mereka yang sangat kaya.

Menurut Drajat, para napi tidak akan diterima dengan mudah di masyarakat saat keluar dari penjara.

"Nah di sinilah ada proses stigmatisasi yang kemudian membuat mereka kemudian terpepet melakukan kejahatan-kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mendapatkan pengakuan," kata Drajat.

Selain faktor-faktor di atas, bisa jadi seorang napi tidak jera karena memang sudah trait atau sifat atau bawaan yang dimiliki secara sosial dan individu.

Secara individu maksudnya sifat-sifat itu telah melekat pada dirinya.

Sementara itu secara sosial artinya dia terpengaruh teman-teman dekatnya untuk melakukan perbuatan kriminal.

Sehingga napi mencari peluang-peluang, mumpung bebas.

Ironi

Drajat mengungkapkan, dalam beberapa beberapa kasus, penjara tidak menakutkan tapi malah menjadi sekolah kriminal yang sangat canggih.

Hal itu jumlahnya cukup banyak di berbagai negara.

Penjara juga menjadi tempat untuk meningkatkan modal sosial kriminal. Artinya, di penjara itu napi justru kenal dengan "orang-orang hebat" atau penjahat-penjahat yang sangat kuat.

Saat jam istirahat atau jam kunjung terjadi campur baur, sehingga ada proses "pembelajaran" kriminalitas di sana.

Sehingga dari jaringan baru tersebut napi belajar dan ketika keluar mereka jadi lebih profesional.

"Nah ini harus bisa diputus di penjara," tegasnya.

Menurut Drajat dalam hal ini Kemenkumham perlu bertanggungjawab karena kembalinya para napi berbuat kriminal.

Para kepala lapas juga seharusnya membina sampai tuntas.

"Kalau begitu dia (napi) keluar langsung melakukan itu (perbuatan kriminal) ada yang kurang sempurna di dalam manajemen pengelolaan pendidikan dan pemasyarakatan di lapas itu," tuturnya.

Selain itu, seharusnya ada asesmen sebelum napi keluar untuk memastikan betul bahwa mereka memang siap untuk kembali ke masyarakat.

Selain itu kehidupan sehari-hari napi setelah keluar juga dipantau petugas sosial. Sehingga jika napi melakukan hal-hal aneh dapat segera diberitahukan ke aparat hukum.

"Tapi saya tidak tahu kemarin karena pertimbangannya bukan pemasyarakatan biasa, tetapi karena pertimbangan mengurangi populasi penjara agar tidak terjadi penularan Covid-19, saya tidak tahu apakah sudah ada evaluasi kesiapan itu atau belum," tutur Drajat.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/19/130400565/mengapa-napi-asimilasi-kembali-berbuat-kriminal-ini-analisisnya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke