Marx hanya mengakui potensi imunitas spiritual yang bersifat personal. Bukan keadaan yang diubah, tetapi pandangan manusia terhadap keadaan yang diubah agar manusia memiliki kekuatan untuk menangkal pengaruh dari keadaan tersebut.
Agama tidak dapat dijadikan senjata untuk mengubah realitas ketidakadilan. Bagi Marx, potensi transformatif sosial ada pada politik, bukan pada agama.
Dari sinilah kemudian Marx mengatakan,"Dengan demikian, kritik terhadap surga berubah menjadi kritik terhadap dunia, kritik terhadap agama menjadi kritik terhadap hukum, kritik terhadap teologi menjadi kritik terhadap politik.“
Kesalahpahaman di dalam memahami kritik agama Marx juga ditengarai, salah satunya, berakar dari penafsiran kata des Volkes. Ini adalah kata genetif (hubungan kepemilikan).
Kata genetif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu genetivus subyektivus dan genetivus obyektivus.
Ambilah contoh frasa pembunuhan X! Kata X dapat ditafsirkan sebagai genetivus subyektivus maupun obyektivus. Jika ditafsirkan sebagai genetivus subyektivus, maka X adalah pelaku.
Sebaliknya, jika dipahami sebagai genetivus obyektivus, maka X adalah sasaran (korban) pembunuhan.
Penggunaan bentuk genetif ini menimbulkan sebuah kerancuan. Jejak-jejak kerancuan dapat dirasakan di dalam penterjemahan Bahasa Inggris.
Sebagian penterjemahan menterjemahkan des Volkes dengan for the people. Penterjemahan seperti ini adalan penafsiran genetivus obyektivus.
Sebagian penterjemahan masih mempertahankan bentuk genetif of the people. Ketika dipahami dalam kerangka genetivus obyektivus, masyarakat adalah sasaran (korban) dari candu.
Dari sinilah kemudian secara implisit terinsinuasi bahwa penguasa adalah pencipta agama dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaanya. Inilah metafora candu versi Lenin.
Istilah des Volkes adalah genetivus subyektivus sekaligus obyektivus. Inilah salah satu indikator dialektika dari pemikiran Marx.
Artinya, masyarakat adalah pencipta (subyek) dan sasaran (obyek). Masyarakat secara kolektif adalah pencipta sekaligus sasaran dari agama.
Oleh karena itu, metafora candu versi Marx berbeda dengan versi Lenin. Dengan menafsirkan des Volkes sebagai genetivus subyektivus, maka agama adalah proses yang berakar dari kebutuhan manusia itu sendiri di hadapan persoalan penderitaan yang nyata.
Marx masih mengakui fungsionalitas agama untuk memenuhi kebutuhan psikologis manusia akan kebahagiaan.
Candu sebagai metafora adalah solusi tentatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut, tanpa urgensi mengubah realitas itu sendiri.
Agama, dalam kaca mata Marx, bukanlah persoalan primer. Agama adalah epifenomena dari persoalan struktur ketidakadilan di dalam masyarakat.
Di dalam "Thesen über Feuerbach" (1845), Marx membedakan antara illusorisches Glück (kebahagian semu) dan wirkliches Glück (kebahagiaan yang sesungguhnya).
Agama memberikan kebahagiaan semu, sedangkan keadilan sosial akan memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kapan kebahagiaan yang sesungguhnya akan datang? Jika struktur masyarakat yang adil dapat terwujud. Selama belum terwujud, manusia harus berpuas diri dengan kebahagiaan semu.