KOMPAS.com – Halal bihalal merupakan sebuah tradisi bermaaf-maafan yang khas dilakukan oleh masyarakat muslim Indonesia, khususnya pada momen Lebaran.
Dikatakan sebagai tradisi yang khas karena halal bihalal terbentuk secara mandiri dalam sosial budaya masyarakat Indonesia.
Kekhasannya lagi, tradisi ini tidak akan ditemukan dalam budaya muslim di Arab pada saat perayaan Idul Fitri.
Masyarakat muslim di Arab tidak mengenal tradisi Idul Fitri sebagai momen yang dirayakan secara meriah.
Dalam budaya masyarakat Muslim di Arab, mereka lebih antusias menyambut dan merayakan Idul Adha daripada Idul Fitri.
Sebaliknya, di Indonesia, justru Idul Fitri yang menjadi paling penting untuk dirayakan dan dimeriahkan, salah satunya melalui tradisi halal bihalal.
Secara makna, Halal Bihalal berarti silaturahmi, sebuah ajang bermaaf-maafan yang dilakukan setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
Umumnya, tradisi Halal Bihalal dilakukan di suatu tempat, seperti masjid atau sebuah aula, dengan melibatkan orang-orang lintas struktural.
Dimaknai sebagai silaturahmi karena halal bihalal dilaksanakan di segala tempat yang melibatkan keluarga kecil hingga keluarga besar atau lembaga.
Beragama sejarah tradisi halal bihalal di masyarakat muslim Indonesia.
Baca juga: Wujud Akulturasi Budaya Lokal dengan Islam
Beberapa kalangan berpendapat bahwa tradisi halal bihalal kali pertama dilakukan dan digagas oleh presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, bersama Kiai Abdul Wahab.
Dikisahkan bahwa pada masa awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 1948, kondisi politik Indonesia sedang tidak stabil.
Untuk menurunkan tensi ketegangan politik pada masa itu, Soekarno berdiskusi dengan Kiai Abdul Wahab tentang solusi yang tepat mengatasi ketegangan tersebut.
Kala itu, secara kebetulan sedang dalam bulan Ramadhan, sehingga dirumuskan sebuah solusi untuk meredam ketegangan antara golongan tersebut.
Soekarno kemudian mengumpulkan tokoh-tokoh politik yang bersitegang dalam suatu lokasi pada saat hari Lebaran. Kemudian, digelarlah acara sungkem bermaafan.
Acara itu lalu diikuti lembaga-lembaga lain dan disebut sebagai halal bihalal.
Baca juga: Sejarah dan Arti Kata Kiai
Versi ini menyatakan bahwa awal mula muncul istilah halal bihalal adalah berasal dari penjual martabak pada 1935-1936 di Taman Sriwedari, Solo.
Diceritakan pada tahun tersebut, martabak tergolong makanan yang baru dan dikenalkan oleh penjual dari India.
Munculnya kata halal bihalal berawal dari pribumi yang mempromosikan martabak orang India tersebut dengan cara berteriak “Martabak Malabar.. halal bin halal.. halal bin halal..”.
Istilah ini kemudian populer di masyarakat Solo, terutama ketika akan ke Sriwedari pada hari Lebaran.
Istilah halal bihalal lantas berkembang menjadi sebutan untuk tradisi bermaafan di hari Lebaran.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya kata ‘halal behalal’ dan ‘alal be halal’ dalam kamus Jawa-Belanda terbitan tahun 1938 karya Dr. Th. Pigeaud.
Baca juga: Sejarah Tradisi Haul dalam Masyarakat Islam di Nusantara
Teori berikut ini adalah teori paling tua dibandingkan dengan dua teori tentang sejarah tradisi halal bihalal yang sudah dibahas di atas.
Bahasa halal bihalal mungkin belum ada pada masa Mangkunegara I, tetapi secara tradisi sungkem telah berlaku pada zaman itu.
Kala itu, Adipati Arya mengumpulkan para punggawa istana beserta prajurit dalam sebuah aula pada saat Idul Fitri.
Kemudian, mereka melakukan sungkem sambil duduk kepada raja dan permaisurinya.
Sejak saat itu, sungkeman dalam momen Idul Fitri berlanjut dan menjadi tradisi masyarakat Jawa.
Sebagaian pendapat mengatakan bahwa praktik halal bihalal merupakan tradisinya orang Jawa, kemudian berkembang dan menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Baca juga: Peristiwa Besar di Balik Ucapan Minal Aidin wal Faizin
Referensi: