KOMPAS.com – Bakiak merupakan jenis alas kaki yang terbuat dari kayu berbentuk seperti sandal japit dan selop sederhana.
Bakiak telah menjadi bagian dari budaya di Indonesia sejak ratusan tahun lalu yang digunakan sebagai alternatif alas kaki.
Namun, bakiak tidak menjadi alas kaki semata, sandal ini juga keap digunakan masyarakat indonesia sebagai ajang lomba yang meriah.
Bagi orang-orang Melayu, bakiak disebut pula dengan terompah.
Di Sunda, sandal ini disebut dengan keletek, sedangan sebagian orang Jawa menyebutnya bangkiak, klompen, teklek, dan sebagainya.
Meski identik dengan alas masyarakat pesantren, bukan berarti hanya kalangan Islam yang mengenakan bakiak.
Bakiak pada mulanya digunakan oleh semua golongan agama, sehingga sandal ini juga dapat disebut sebagai simbol kesetaraan.
Meskipun sangat membudaya di Indonesia sejak masa silam, bakiak ternyata merupakan hasil akulturasi budaya bila dilihat dari jejak sejarahnya.
Baca juga: Riwayat Mukena, dari Khazanah Budaya Indonesia
Pada masa klasik atau sebelum modern, tentunya teknologi belum banyak dikembangkan meskipun telah ditemukan, termasuk dalam pembuatan alas kaki.
Pada masa klasik, belum banyak inovasi mengenai alas kaki, sebagaimana yang ditemui pada masa modern sekarang ini.
Oleh karena itu, kesederhanaan adalah ciri khas dari tren pembuatan kaus kaki pada masa lalu.
Keterbatasan teknologi dan kecakapan dalam mengelola lingkungan merupakan awal mula munculnya inovasi sandal berbahan kayu yang sederhana.
Namun, inovasi mengenai sandal bakiak, menurut beberapa catatan, telah digunakan sejak masa Dinasti Han.
Masyarakat Dinasti Han telah menggunakan bakiak sejak 2 abad sebelum Masehi, khususnya bagi kalangan bangsawan perempuan.
Orang-orang Dinasti Han menggunakan sandal dari kayu atau bakiak yang memiliki corak gambar atau lukisan.
Namun, di Indonesia, bakiak hadir dengan tampilan tanpa adanya lukisa.
Dilihat dari segi nama, kata Bakiak yang digunakan oleh orang Indonesia juga berasal dari kosa kata bahasa Hokkian.
Orang-orang Hokkian menyebut alas kaki tersebut dengan “bak-kia”, yang berarti semacam alas kaki.
Baca juga: Balap Bakiak, Olahraga Tradisional Pengasah Kerja Sama Tim dan Ketangkasan
Dalam perkembangannya, penyebaran bakiak atau bak-kia mulai sampai ke berbagai daerah-daerah lain di luar Hokkian, termasuk Indonesia.
Belum diketahui secara pasti kapan bakiak masuk ke Indonesia, tetapi kemungkinan sandal ini mulai dikenal masyarakat Nusantara pada abad ke-8 Masehi.
Penyebaran bakiak di Nusantara diperkirakan berkaitan dengan aktivitas mobilisasi orang-orang Tiongkok.
Hal ini diperkuat dengan status atau kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan sehingga mudah dijangkau melalui jalur laut.
Selain itu, aktivitas perdagangan yang berlangsung di Indonesia memang menjadi jalur masuknya budaya asing.
Tidak hanya di Indonesia, bakiak juga menyebar ke negara-negara lainnya, seperti Filipina yang oleh masyarakatnya disebut dengan bakya.
Bakiak, baik dari segi bentuk maupun nama, juga menyebar ke daerah-daerah tetangga Tiongkok, seperti di Jepang dan Semenanjung Korea.
Hal menarik lainnya dari bakiak adalah ditemukannya sebuah arca di Blitar, Jawa timur, yang terlihat mengenakan alas kaki menyerupai bakiak.
Arca itu menandakan bahwa budaya bakiak telah melekat dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Nusantara pada masa lampau.
Baca juga: Permainan Bakiak Asal Sumatera Barat: Cara Bermain dan Tujuan
Referensi:
Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama R. 2018. Ensiklopedia Islam Nusantara Edisi Budaya. Jakarta Pusat: Kemenag RI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.