Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesultanan Palembang: Sejarah, Pendiri, Raja-Raja, dan Peninggalan

Kompas.com - 03/11/2021, 12:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kesultanan Palembang adalah kerajaan bercorak Islam yang pernah berdiri di Palembang, Sumatra Selatan, antara abad ke-17 hingga abad ke-19.

Pada masa jayanya, wilayah kekuasaannya pernah mencakup Provinsi Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Jambi, dan Lampung.

Pada 1823, kesultanan ini dihapus oleh Belanda, setelah keduanya terlibat dalam pertempuran panjang.

Kemudian pada 2003, Kesultanan Palembang Darussalam dihidupkan kembali, tetapi hanya sebagai simbol kebudayaan di Sumatra Selatan.

Sultan Palembang sekarang adalah Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang naik takhta pada 2017.

Sejarah Kesultanan Palembang

Ketika terjadi kemelut di Kesultanan Demak, banyak keluarga kerajaan yang melarikan diri ke Palembang.

Salah satunya adalah Ki Gede Sedo Ing Lautan, yang kemudian mendirikan kerajaan di Palembang pada sekitar pertengahan abad ke-16.

Ki Gede Sedo Ing Lautan inilah yang nantinya menurunkan raja-raja di Kesultanan Palembang.

Namun, kerajaannya saat itu masih menjadi bawahan Kesultanan Mataram, yang dianggap sebagai pelindung dari Kesultanan Banten.

Barulah pada masa Ki Mas Hindi (1659-1706), Kerajaan Palembang memutuskan segala hubungan dengan Kesultanan Mataram.

Ki Mas Hindi kemudian menyatakan dirinya sebagai sultan, yang kedudukannya setara dengan penguasa Mataram.

Oleh karena itu, Ki Mas Hindi dikenal sebagai pendiri dan raja pertama Kesultanan Palembang, yang kemudian bergelar Sultan Abdurrahman.

Baca juga: Kerajaan Mataram Islam: Pendiri, Kehidupan Politik, dan Peninggalan

Pusat pemerintahan Kesultanan Palembang

Keraton pertama Kesultanan Palembang didirikan di Kuto Gawang, tetapi habis dibakar oleh VOC pada 1659.

Sejak 1601, Kerajaan Palembang tercatat telah melakukan hubungan dengan VOC. Namun kerjasama itu memburuk karena wakil VOC di Palembang bertindak semaunya.

Pembakaran Keraton Kuto Gawang adalah serangan balasan dari VOC, akibat perlawanan yang dilakukan Palembang.

Setelah itu, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut, yang terletak di sekitar Masjid Lama. Lokasi Kesultanan Palembang ini dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan.

Pada periode pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), keraton kesultanan dipindahkan ke Kuto Tengkurak.

Kemudian pada saat Sultan Muhamad Bahauddin (1776-1803) naik takhta, pusat pemerintahan kembali dipindahkan, yakni ke Kuto Besak.

Keraton Kuto Besak adalah istana terbesar yang pernah dibangun Kesultanan Palembang dan masih berdiri hingga sekarang.

Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, Sultan Palembang sekarang.Tribunsumselwiki/Linda Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, Sultan Palembang sekarang.

Silsilah Kesultanan Palembang

Berikut ini raja-raja yang pernah memimpin di Kesultanan Palembang sejak didirikan hingga sekarang.

  • Sri Susuhunan Abdurrahman (1659–1706)
  • Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706–1718)
  • Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718–1724)
  • Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724–1757)
  • Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757–1776)
  • Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803)
  • Sultan Mahmud Badaruddin II (1804–1813, 1818–1821)
  • Sultan Ahmad Najamuddin II (1812–1813, 1813–1818)
  • Sultan Ahmad Najamuddin III (1821–1823)
  • Sultan Mahmud Badaruddin III, Prabu Diradja Al-Hajj (2003–2017)
  • Sultan Mahmud Badaruddin IV, Fauwaz Diradja (2017-sekarang)

Diperebutkan Belanda dan Inggris

Sejak melakukan kerjasama pada awal abad ke-17, Belanda selalu berupaya menguasai Palembang.

Keinginan Belanda menguasai Kesultanan Palembang karena adanya pertambangan timah. Bahkan ketika timah ditemukan di Bangka, Palembang juga menjadi incaran Inggris.

Pada akhirnya, Inggris berhasil menduduki Palembang, hingga membuat Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke hulu Sungai Musi.

Ketika Indonesia dikembalikan oleh Inggris ke Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin II pun kembali berkuasa.

Baca juga: Kerajaan Aceh: Raja-raja, Puncak Kejayaan, Keruntuhan, dan Peninggalan

Kesultanan Palembang runtuh

Pada 12 Juni 1819, pertempuran Palembang melawan Belanda dimulai, yang berlanjut hingga masa sultan berikutnya.

Setelah sempat mengalami kekalahan, Belanda meluncurkan serangan dadakan pada Juni 1821, yang berhasil melumpuhkan Palembang.

Tidak lama kemudian, Palembang resmi jatuh ke tangan Belanda. Sementara Sultan Ahmad Najamuddin III dibawa ke Batavia untuk diasingkan ke Maluku hingga akhir hidupnya.

Pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda dan Kuto Tengkuruk dihancurkan hingga rata dengan tanah.

Setelah sekian lama, Majelis Adat Palembang memutuskan untuk menghidupkan kembali Kesultanan Palembang dan melantik Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin III.

Sultan Mahmud Badaruddin III kemudian digantikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja, yang naik takhta pada 2017.

Penobatan tersebut berlangsung di Masjid Lawang Kidul, dekat makam Sultan Mahmud Badaruddin I, pada 2003.

Peninggalan Kesultanan Palembang

  • Benteng Kuto Besak
  • Masjid Agung Palembang
  • Makam Lembang

 

Referensi:

  • Asiah, Nur. (2019). Ensiklopedia Kerajaan Indonesia Jilid 3. Jakarta: Mediantara Semesta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com