Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis menggunakan sejumlah media yang berganti-ganti.
Nenek moyang aksara Jawa, yaitu aksara Kawi ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam.
Sehari-harinya, aksara Kawi ditulis menggunakan lontar, daun palem diwalan yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga dapat ditulisi.
Barulah pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara.
Terdapat dua jenis kertas yang umumnya ditemukan dalam naskah beraksara Jawa, yaitu kertas produksi lokal disebut daluang dan kertas impor.
Daluang merupakan kertas yang terbuat dari tumbukan kulit Pohon Glugu.
Daluang mulai digunakan di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.
Sedangkan untuk kertas impor biasanya didatangkan dari Eropa.
Awalnya, kertas impor ini hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis aksara Jawa karena harganya yang mahal, sehingga pemesanan kertas impor terbatas.
Sampai akhirnya, penggunaan kertas impor disuplementasikan dengan kertas daulang Jawa dan kertas impor Tiongkok hingga abad 19.
Sejak saat itu, permintaan jumlah kertas impor mulai meningkat dan juru tulis keraton lebih memilih untuk menulis di kertas tersebut.
Baca juga: Daftar Bahasa Daerah di Indonesia
Aksara Pasangan digunakan untuk menekan huruf vokal konsonan yang ada di depannya.
Aksara Murda berfungsi untuk menulis awal kalimat dan juga digunakan untuk menunjukkan gelar, kota, dan lembaga.
Aksara Swara sama dengan huruf vokal utama, seperti A I U E O.
Huruf vokal yang tidak bisa berdiri sendiri dapat menggunakan huruf aksara Sandhangan.
Aksara Rekan adalah huruf yang asalnya dari serapan bahasa asing, seperti kh, f, dz, gh, dan z.
Aksara Pratandha dibutuhkan sebagai pembubuhan tanda baca dalam kalimat.
Selain dalam bentuk huruf, aksara Jawa juga ada dalam bentuk bilangan.
Referensi: