Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerajaan Wajo: Sejarah, Masa Kejayaan, dan Peninggalan

Kompas.com - 16/08/2021, 11:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kerajaan Wajo adalah salah satu kerajaan bercorak Islam yang terletak di Sulawesi Selatan.

Berbeda dari kerajaan di Sulawesi Selatan lainnya, Wajo bukan kerajaan feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

Kerajaan ini didirikan pada sekitar abad ke-15 dan berubah menjadi kesultanan Islam setelah ditaklukkan Kesultanan Gowa-Tallo pada abad ke-17.

Memasuki abad ke-18, Kerajaan Wajo mencapai puncak kejayaan ketika berhasil menggantikan kebesaran Kesultanan Bone.

Sejarah singkat Kerajaan Wajo

Sejarah berdirinya Kerajaan Wajo dikatakan masih gelap karena terdapat beberapa versi cerita.

Di antara cerita tersebut ada yang menghubungkan kemunculannya dengan pendirian kampung Wajo oleh tiga anak raja dari kampung tetangga, yaitu Cinnotabi.

Kepala keluarga dari mereka kemudian menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.
Akan tetapi, Batara Wajo yang ketiga dipaksa untuk turun takhta dan dibunuh karena kelakuan buruknya.

Sejak saat itu, pengangkatan raja di Wajo tidak lagi turun-temurun, tetapi melalui pemilihan oleh Dewan Perwakilan menjadi Arung Matoa.

Maksud dari Arung Matoa di Kerajaan Wajo adalah raja utama atau raja yang dituakan.

Baca juga: Kerajaan Gowa-Tallo: Letak, Kehidupan, Peninggalan, dan Keruntuhan

Perkembangan Kerajaan Wajo

Ketika Kerajaan Wajo dipimpin oleh La Tadampare? Puang ri Maggalatung, Arung Matoa IV yang memerintah pada tahun 1491-1521, wilayah kekuasaannya terus meluas hingga menjadi salah satu negeri Bugis yang besar.

Memasuki abad ke-16, posisi Wajo dapat dikatakan setara dengan Luwu, salah satu kekuatan utama di Sulawesi Selatan.

Pasalnya, Wajo berhasil mendapatkan sebagian wilayah Sindenreng dan Cina. Namun, keadaan kembali berubah ketika Luwu ditaklukkan oleh Kerajaan Bone.

Terlebih lagi, Bone juga bersekutu dengan Gowa-Tallo atau Kerajaan Makassar untuk melawan Wajo.

Memasuki pertengahan abad ke-16, Bone dan Gowa-Tallo berubah menjadi lawan karena perebutan hegemoni Sulawesi Selatan.

Kala itu, Wajo yang telah jatuh ke tangan Gowa-Tallo, akhirnya turut mendukung perang melawan Bone.

Membentuk Persekutuan Tellumpoccoe

Kerajaan Gowa-Tallo ternyata gemar berlaku keras terhadap negeri Bugis bawahannya. Akibatnya, Wajo dan Soppeng justru membentuk Persekutuan Tellumpoccoe bersama Bone pada 1582 M.

Persekutuan ini bertujuan untuk meraih kembali kedaulatan tanah Bugis dan menghentikan laju Kerajaan Gowa-Tallo.

Upaya ketiga negeri Bugis ini pun berhasil mematahkan serangan Gowa-Tallo ke Wajo (1582), begitu pula dengan serangan Ke Bone (1585 dan 1588), dan serangan 1590.

Baca juga: Kerajaan Bone: Letak, Sejarah, Masa Keemasan, dan Keruntuhan

Masuknya Islam ke Kerajaan Wajo

Terlepas dari beberapa serangannya yang mengalami kegagalan, Kerajaan Gowa-Tallo tetap berkembang menjadi kekuatan utama di Semenanjung Sulawesi Selatan yang menyokong perdagangan internasional dan menyebarkan Islam.

Pada akhirnya, Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menundukkan dan mengislamkan Soppeng (1609), Wajo (1610), dan Bone (1611).

Akan tetapi, Kerajaan Gowa-Tallo tidak membubarkan Persekutuan Tellumpoccoe dan membiarkan Wajo mengatur urusan dalam negerinya.

Selain itu, dari sumber hikayat lokal diketahui bahwa seorang ulama terkenal dari Minangkabau bernama Dato ri Bandang memberikan pelajaran agama Islam kepada raja-raja Wajo dan rakyatnya.

Masa kejayaan Kerajaan Wajo

Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Wajo sempat mengalami masa suram saat memilih mendukung Kerajaan Gowa-Tallo menghadapi armada gabungan Bone, Soppeng, Buton, dan VOC.

Ketika Kerajaan Gowa-Tallo menyerah, Wajo menolak menandatangani Perjanjian Bongaya dan memilih untuk tetap melawan.

Perjuangan pun harus terhenti pada 1670, saat ibu kota Kerajaan Wajo yang berlokasi di Tosora jatuh ke pihak VOC dan Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka.

Setelah itu, rakyat Wajo memilih untuk bermigrasi karena tidak sudi dijajah. Pada 1726, muncul sosok bernama La Maddukelleng, yang menjadi musuh bebuyutan Belanda.

Melihat tekad dan usaha-usahanya untuk membebaskan Wajo dan Sulawesi Selatan dari kekuasaan Belanda, La Maddukelleng kemudian diangkat menjadi Arung Matoa ke-31 pada 1736.

Di bawah kekuasaan La Maddukelleng, rakyat dapat memenangkan perang melawan Bone dan Kerajaan Wajo dapat direbut kembali dari Belanda.

La Maddukelleng pun sempat memajukan kehidupan sosial dan politik Wajo di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan sebelum akhirnya mengundurkan diri pada 1754.

Baca juga: Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi

Keruntuhan Kerajaan Wajo

Pada akhir pemerintahan La Maddukelleng, Wajo mulai mengalami pergolakan yang terus berlangsung hingga abad ke-18.

Memasuki abad ke-19, Islam semakin mengakar kuat di Wajo. Akan tetapi, kemelut di kerajaan juga tidak kunjung usai karena para anggota dewannya tidak dapat bersepakat untuk memilih Arung Matoa yang baru.

Pada 1905, Kerajaan Wajo akhirnya takluk kepada Belanda dan menyerahkan semua urusannya kepada pemerintahan kolonial.

Peninggalan Kerajaan Wajo

  • Makam La Maddukkelleng
  • Mushola Tua Menge
  • Benteng Tosora

 

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com