Karena hunian mereka telah menetap, masyarakat masa bercocok tanam hidup secara berkelompok dan membentuk perkampungan kecil.
Dalam sebuah kampung biasanya terdiri dari beberapa keluarga dan hidup secara gotong royong dengan sistem pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki.
Misalnya para laki-laki bertugas membangun rumah, sementara kaum perempuan akan merawat dan menghiasnya.
Mereka juga menunjuk ketua suku dan memiliki aturan hidup sederhana yang harus dijalani anggotanya.
Zaman kehidupan masa bercocok tanam dan hidup menetap berlangsung bersamaan dengan masa Neolitikum.
Sebab, pada periode ini terjadi revolusi kebudayaan yang sangat besar dalam peradaban manusia.
Hal ini dapat dilihat dari benda-benda peninggalannya berupa peralatan dari batu dan tulang yang telah diumpam (diasah).
Alat-alat yang umumnya diumpam adalah beliung, kapak batu, mata panah, dan mata tombak.
Di Indonesia, beliung dan kapak batu ditemukan tersebar di berbagai wilayah.
Dari penemuan berupa alat pemukul kayu, manusia pada masa bercocok tanam diduga sudah mengenal pakaian. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang.
Penyelidikan arkeologi juga membuktikan bahwa tradisi membuat benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam.
Baca juga: Zaman Logam: Pembagian dan Peninggalan
Masyarakat pada masa bercocok tanam mengenal kepercayaan akan hal gaib dan orang yang meninggal akan memasuki alam lain.
Oleh karenanya, orang yang meninggal akan dibekali benda-benda keperluan sehari-hari.
Berkaitan dengan kepercayaan ini, muncul tradisi pendirian bangunan besar yang disebut tradisi megalitik.
Beberapa contoh bangunan megalitik adalah dolmen, menhir, waruga, sarkofagus, dan punden berundak.
Secara umum, sistem kepercayaan pada masa bercocok tanam dapat dibagi ke dalam dua aliran, yaitu animisme (kepercayaan terhadap roh leluhur) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda gaib).
Referensi: