KOMPAS.com - Kesultanan Banjar merupakan salah satu kerajaan di Kalimantan yang bercorak Islam.
Kerajaan Banjar berdiri pada 1520, dengan ibu kota terakhir di Kayu Tangi yang dikenal saat ini sebagai Martapura, Kalimantan Selatan.
Sultan pertama Kerajaan Banjar adalah Raden Samudera yang bergelar Sultan Suriansyah.
Pengaruh agama Islam dalam Kesultanan Banjar sangat dominan dan tidak terlepas dari pengaruh Khatib Dayan dari Kesultanan Demak.
Hal ini terbukti dari peninggalannya yang berupa tiga masjid dengan ragam arsitektur menyerupai masjid agung Demak.
Tiga masjid tersebut adalah masjid Kuin, Jami, dan Basirih. Selain itu, terdapat Undang-Undang Sultan Adam yang semuanya didasarkan pada hukum Islam.
Baca juga: Kerajaan Islam di Kalimantan
Pada masa kejayaannya, Kesultanan Banjar memiliki seorang ulama besar bernama Muhammad Arsyad Abdullah Al-Banjari (1710-1812 M).
Ia dikirim untuk belajar ke Mekah dan Madinah selama beberapa tahun.
Sekembalinya ke nusantara, Muhammad Arsyad Abdullah Al-Banjari mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Banjar.
Ia juga menulis kitab yang terkenal, yaitu Sabil Al-Muhtadin dan Khaz Al-Ma'rifah.
Terbentuknya Kerajaan Banjar tidak lepas dari Negara Daha, kerajaan Hindu yang pernah berkuasa saat itu.
Raja Negara Daha, Raden Sukarama, mewasiatkan takhta kerajaan kepada cucunya, Raden Samudera.
Namun, anak Raden Sukarama, Pangeran Tumenggung, merebut takhta tersebut hingga memaksa Raden Samudera melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir Sungai Barito karena nyawanya terancam.
Dalam pelariannya, Raden Samudera membentuk kesepakatan dengan komunitas Melayu.
Komunitas Melayu mau menjadi pelindung Raden Samudera asalkan mereka tidak perlu membayar upeti kepada Negara Daha.
Baca juga: Kerajaan Islam di Sumatera
Untuk merebut kembali takhtanya, Raden Samudera meminta bantuan Kerajaan Demak.
Sultan Demak setuju dengan permintaan tersebut, asalkan Raden Samudera dan pengikutnya mau memeluk Islam.
Setelah sepakat, penyerangan dilakukan dan Raden Samudera berhasil merebut takhtanya kembali.
Pada 1526, Raden Samudera memindahkan rakyat Negara Daha ke Kuin, Banjarmasin, sebagai pusat pemerintahan dan mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah wafat pada 1545, dan setelah itu takhtanya diteruskan.
Baca juga: Kerajaan Islam di Jawa
Sistem pemerintahan Kesultanan Banjar masih mengikuti Negara Daha, di mana jabatan raja diturunkan kepada golongan tutus (keturunan raja).
Sedangkan jabatan tertinggi setelah raja, yaitu perdana menteri yang bergelar Mangkubumi, ditempati oleh golongan jaba (rakyat biasa yang berjasa besar terhadap kerajaan).
Dalam menjalankan tugasnya, Mangkubumi dibantu oleh bawahannya, yang terdiri dari penganan, pengiwa, gumpiran, dan panumping yang memiliki wewenang setara hakim dan jaksa.
Di bawahnya ada jabatan mantri bumi, 40 mantri sikap, dan beberapa jabatan lain yang berwenang dalam bidang perdagangan, seni, keagamaan, dan logistik.
Saudara raja diperbolehkan menjadi penguasa di daerah taklukan dengan gelar adipati. Akan tetapi, kekuasaannya berada di bawah Mangkubumi.
Baca juga: Kerajaan Islam di Papua
Masa kejayaan Kesultanan Banjar berada pada dekade pertama abad ke-17.
Akibat perang Makassar menyebabkan para pedagang dari Somba Opu, Kesultanan Gowa, pindah ke Banjarmasin hingga menjadi bandar perdagangan besar.
Komoditas perdagangan utamanya adalah lada hitam, madu, rotan, emas, intan, damar, dan kulit binatang.
Pada masa ini pula Kesultanan Banjar tidak lagi membayar upeti kepada Kesultanan Demak.
Di saat yang sama, wilayah Kesultanan Banjar berhasil diperluas dengan menduduki Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir, Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam-Asam, Kintap, dan Swarangan.
Pada abad ke-18, terjadi perpindahan kekuasaan kepada Sultan Tamjidullah dengan mengangkat Pangeran Nata Dilaga sebagai sultan.
Hal ini menyebabkan perpecahan di dalam kerajaan.
Pangeran Amir meminta bantuan pamannya, Arung Tarawe, untuk menyerang Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis.
Baca juga: Kerajaan Islam di Sulawesi
Untuk memertahankan takhtanya, Pangeran Nata Dilaga meminta bantuan VOC.
Meski pasukan orang Bugis berhasil dikalahkan, kesepakatan dengan VOC pada akhirnya merusak adat kerajaan dan menjadi salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar pada 1859.
Dalam perjalanannya, Pangeran Antasari diberi kepercayaan oleh Pangeran Hidayatullah untuk menghimpun kekuatan melawan Belanda.
Namun, berbagai upaya perlawanan tidak berhasil hingga menyebabkan Pangeran Hidayatullah diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat.
Dengan demikian, Pangeran Antasari diangka sebagai sultan Kesultanan Banjar.
Pada 1862, Pangeran Antasari meninggal dan takhtanya diteruskan oleh Sultan Seman, yang melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.
Akan tetapi, Sultan Seman meninggal pada 1905 dalam suatu pertempuran sehingga berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar.
Referensi: