Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Boven Digoel, Pengasingan yang Sangat Ditakuti

Tempat ini menjadi saksi ketika para pejuang semasa kolonial dibuang atau diasingkan untuk meredam pergerakan.

Boven Digoel menjadi tempat yang pengasingan yang sangat dihindari oleh para tokoh politik sebab tempat ini sangat terisolasi dan mungkin mustahil untuk dapat kabur.

Awal Boven Digoel Dilirik Belanda

Boven Digoel terletak di sebelah Timur sungai Digoel. Dulunya kawasan ini tergabung dalam kekuasaan Karesidenan Maluku, berbatasan langsung dengan Negara Papua Nugini.

Daerah ini sering disebut “anak tiri” Hindia Belanda karena sekedar difungsikan sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan benteng pertahanan dari militer asing.

Belanda kali pertama mengeksplorasi kawasan ini pada tahun 1907 dengan cara menyusuri sungai Digoel menggunakan perahu hingga ke pedalamannya.

Tahun 1909, Belanda kembali melakukan eksplorasi kawasan Boven Digoel. Ketika itu mereka mulai tertarik dengan kawasan tersebut.

Eksplorasi selanjutnya dilakukan lagi pada tahun 1912 dan 1913. Pada tahun 1927, dipilihlah kawasan yang saat ini dikenal dengan Tanah Merah sebagai kamp pembuangan.

Setelah kawasan itu resmi dijadikan lokasi pembuangan, mereka kemudian membuat koloni, mendirikan benteng, kantor pos, rumah sakit, dan sarana olahraga.

Mereka juga mendirikan sekolah-sekolah sebagai fasilitas anak-anak tahanan politik yang akan dibuang ke wilayah tersebut.

Dalam perkembangannya, Belanda kemudian mendirikan lagi dua lokasi pembuangan di Boven Digoel, yaitu Tanah Tinggi dan Gudang Arang.

Sistem Administrasi di Boven Digoel masa Hindia Belanda

Boven Digoel secara administratif kala itu terbagi menjadi tiga kawasan, yaitu kawasan pemerintahan, kawasan militer, dan kawasan tahanan.

Koloni Boven Digoel dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Ia memiliki tiga orang wedana, tiga asisten wedana, tiga kepala kampung serta wakil kepala di setiap kamp tahanan di Boven Digoel.

Setiap wedana memiliki tanggung jawab atas kamp kekuasaannya, dan menyerahkan laporan terkait aktivitas kamp tahanan termasuk keluar masuknya tahanan.

Sedangkan kepala kampung memiliki tugas untuk mengawasi aktivitas para tahanan, aksi pencurian, atau perkelahian.

Di Boven Digoel juga terdapat pengadilan yang terdiri dari jaksa, panitera, dan para wedana yang diperbantukan.

Kamp Boven Digoel Ditutup

Pada tahun 1930-an, nama Boven Digoel menjadi perbincangan oleh kalangan pemerintah Hindia Belanda yang dipengaruhi oleh situasi politik internasional kala itu.

Ketidakstabilan kondisi politik internasional pada masa kegentingan Perang Dunia II membuat Belanda membebaskan sekitar 119 tahanan politik pada 1938.

Hal ini didasari ketakutan Belanda bilamana kondisi sudah tak terkendali, dapat menjadi bumerang bagi mereka.

Ketika Jepang menguasai Indonesia tahun 1943, Belanda secara resmi menutup Boven Digoel dan memindahkan tahanannya ke Australia sebagai basis mereka setelah takluk dari Jepang.

Keputusan ini juga didasarkan atas ketakutan Belanda apabila internir tersebut dibebaskan oleh Jepang maka bisa jadi mereka berbalik menyerang Belanda.

 

Referensi:

  • Inna Mirawati. (1990). Inventaris Arsip Boven Digoel 1927-1924 & 1954. Arsip Nasional Republik Indonesia.
  • Handoko, S. T. (2016). Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional hingga Otonomi Khusus Papua. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 1(2), 81-92.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/26/014500379/boven-digoel-pengasingan-yang-sangat-ditakuti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke