Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mohammad Roem: Peran, Kiprah, dan Penangkapan

Yang paling terkenal dari Mohammad Roem adalah keterlibatannya dalam Perjanjian Roem-Royen selama Revolusi Indonesia.

Mohammad Roem menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan antara Belanda dengan Indonesia pada 17 April 1949. 

Perjanjian Roem-Royen adalah perundingan yang dibuat Indonesia dengan Belanda pada 7 Mei 1949 untuk menyelesaikan konflik di awal kemerdekaan.

Pendidikan

Roem lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1908. Ia merupakan putra dari Dulkarnaen Djojosasmito dan Siti Tarbijah. 

Pada 1915, Roem belajar di Volkschool atau Sekolah Rakyat selama dua tahun. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Hollandse Inlandsche School (HIS) sampai 1924. 

Masih di tahun yang sama, 1924, Roem mendapat beasiswa untuk belajar di STOVIA atau sekolah dokter pribumi. 

Tiga tahun berselang, ia berhasil menyelesaika ujian dan dipindahkan ke Algemene Middelbare School atau sekolah menengah atas. Ia lulus pada 1930.

Setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi kedokteran, Roem ditolak.

Ia kemudian memasuki Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta pada 1932.

Roem berhasil meraih gelar Master Hukum pada 1939. 

Peran dan Kiprah

Kemudian, pada masa kebangkitan nasional Indonesia, tahun 1924, Roem aktif di beberapa organisasi seperti Jong Islamieten Bond.

Lalu, pada 1925, ia tergabung dalam Sarekat Islam.

Lepas dari masa kebangkitan, pada masa revolusi, Roem menjadi anggota delegasi Indonesia di Perundingan Linggarjati tahun 1946. 

Selain itu, Roem juga diberi mandat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-4 pada 2 Oktober 1946 hingga 3 Juli 1947 dalam Kabinet Sjahrir III. 

Ia juga menjadi delegasi Indonesia pada Perjanjian Renville pada 1948. Dua perjanjian tersebut menjadi upaya Indonesia untuk membebaskan diri dari Belanda.

Pada 1 Desember 1948, Belanda tidak lagi terikat dengan perjanjian Renville. 

Buntutnya, pada 19 Desember, Belanda kembali menyerang Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta. Serangan ini disebut Agresi Militer Belanda II.

Kala itu, Belanda juga menangkap dan menawan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Langkah Belanda ini lantas dikecam dunia. 

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Januari 1949 memerintahkan Belanda dan Indonesia untuk berhenti melancarkan operasi militernya.

United Nations Commission for Indonesia (UNCI) kemudian membawa perwakilan kedua negara ke meja perundingan pada 17 April 1949. 

Delegasi Indonesia diketuai oleh Mohammad Roem, sementara Belanda diwakili Herman van Roijen (Royen). 

Setelah keduanya bertemu, terbentuklah Perjanjian Roem-Royen. 

Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. 

Setelah itu, kiprah Roem berlanjut sebagai pejabat negara.

Pada 6 September 1950, Mohammad Roem menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia sampai 27 April 1951 dalam Kabinet Natsir. 

Lalu, sewaktu Kabinet Ali Sastroamidjojo II berjalan, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia.

Penangkapan

Pada 1960, Roem merupakan seorang tokoh senior di Partai Masyumi. 

Kala itu, Presiden Soekarno menganggap Roem mendukung pemberontakan PRRI.

Pada 1962, Roem ditangkap dan dipenjarakan tanpa pengadilan di Madiun. 

Roem kemudian dibebaskan oleh Jaksa Agung Sugi Aito pada Mei 1966. 

Setelah banyak bersumbangsih terhadap Indonesia, Roem meninggal dunia pada 24 September 1983 akibat gangguan paru-paru. 

Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. 

 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/04/080000879/mohammad-roem--peran-kiprah-dan-penangkapan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke