Kerajaan-kerajaan kecil membayar upeti ke kerajaan lebih kuat yang telah berhasil menaklukan kerajaan lainnya.
Tidak seperti pajak pada era modern ini. Di mana pajak di desain untuk membiayai kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Dulu, upeti dibayarkan lebih untuk kepentingan penguasa dan agar membayar secara aman.
Kerajaan patrol tidak memiliki kewajiban untuk memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
Jangankan nasib rakyat kerajaan taklukan, kesejahteraan rakyat di kerajaan inti sendiri belum tentu menjadi agenda.
Baca juga: Tunggak Pajak Rp 1,8 M, Reklame SPBU Pertamina di Tanjung Priok Disegel
Ketika masuk era kolonial oleh Belanda dan bangsa Eropa pajak mulai dikenakan.
Pajak yang diterapkan itu, seperti pajak rumah, pajak usaha, sewa tanah maupun pajak kepada pedagang. Itu diperlakukan pada 1839.
Adanya sistem itu membuat masyarakat merasa berat dan terbebani. Apalagi tidak ada kejelasan dan banyak penyelewengan oleh pemerintah kolonial waktu itu.
Pada masa kolonial, saat itulah mengenal sistem perpajakan modern.
Pada 1885, pemerintah Kolonial Belanda membedakan besar tarif pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak.
Seperti pemerintah memberlakukan kenaikan pajak tinggal untuk warga Asia menjadi 4 persen.
Pada masa kemerdekaan, pajak dimasukan ke dalam UUD 1945 Pasal 23 pada sidang BPUPKI. Pasal itu berbunyi segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
Baca juga: Ini Denda Telat Lapor SPT Tahunan Pajak di 2020
Meski sudah dituangkan dalam UU, tapi pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus yang mengatur tentang pajak. Ini disebabkan terjadi Agresi Militer Belanda dan membuat pemerintahan Indonesia memindahkan ibukota ke Yogyakarta.
Karena roda pemerintahan dan pembiayaan pengeluaran negara harus tetap dijalankan.
Lalu, pemerintah mengadopsi beberapa aturan tentang pajak peninggalan pemerintahan kolonial.