Unsur ketiga ikrar Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada 1928 itulah, Bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Namun, bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945. Karena pada saat itu Undang-undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dalam naskah UUD 1945 Bab XV Pasal 36 disebutkan Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Baca juga: Gita Gutawa Jadi Guru Super Ajar Bahasa Indonesia, Apa Alasannya?
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II pada 1945 di Medan menyatakan Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu.
Sejak zaman dulu Bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara bahkan hampir di seluruh Asia Tenggara.
Lingua franca berasal dari bahasa Latin yang artinya bahasa penghubung antara komunitas yang berbeda bahasa di wilayah geografis yang cukup luas.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Buktinya, penemuan beberapa prasasti bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna, yaitu:
Bahasa Melayu Kuna tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya. Karena ditemukan prasasti lain yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna, yaitu:
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan yang berfungsi sebagai berikut:
Baca juga: Fitur Penerjemah Real Time Hadir di Google Assistant, Dukung Bahasa Indonesia
Ahli sejarah I-Tsing yang belajar agama Buddha di Sriwijaya, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen atau Kou-luen.
Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara yaitu bahasa Melayu. Bahasa yang digunakan di Sriwijaya tersebut berdampingan dengan bahasa Sanskerta.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam. Perkembangan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam.
Peninggalan berupa batu bertulis maupun karya sastra. Batu bertulis seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh Aceh yang berangka tahun 1380 M.
Sedangkan dari karya sastra pada abad ke-16 dan 17 seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu mudah diterima penduduk nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang dan antarkerajaan karena tidak mengenal tingkat tutur.