Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

10 Jenis-Jenis Wayang dan Pengertiannya

KOMPAS.com – Pertunjukan wayang di setiap negera memiliki teknik dan gaya sendiri. Dengan demikian, wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya, dan dalang yang luar biasa.

Selama berabad-abad budaya wayang berkembang menjadi beragam jenis. Kebanyakan jenis-jenis wayang menggunakan kisah Mahabarata dan Ramayana sebagai induk cerita

Nah, mari Kita mengenal jenis-jenis wayang!

Wayang purwa

Wayang kulit purwa terbuat dari kulit kerbau yang ditatah dan diwarnai sesuai dengan tradisi pulasan wayang pedalangan.

Mereka juga memiliki tangkai dari tanduk kerbau bule yang diproses dengan cara yang disebut cempurit, yang terdiri dari tuding dan gapit.

Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak seperti gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainya.

Wayang kulit kuno dapat dibagi menjadi beberapa kategori, termasuk: 

Wayang golek

Wayang golek adalah seni pertunjukan teater rakyat yang banyak dimainkan. Pertunjukan wayang golek dapat digunakan sebagai hiburan dan tontonan dalam perhelatan tertentu.

Selain berfungsi sebagai pelengkap upacara selamatan atau ruwatan, wayang golek modern adalah wayang golek kreasi baru dengan menggabungkan teknologi modern dalam pertunjukan seperti asap, pencahayaan warna warni dll.

Beberapa jenis Wayang Golek yang populer:

  • Wayang golek gaya Sunda dengan cerita purwa
  • Wayang golek gaya Cirebon dengan cerita purwa, cepak dan menak
  • Wayang golek gaya Yogyakarta dengan cerita menak
  • Wayang golek gaya Surakarta dengan cerita menak
  • Wayang golek gaya Kebumen dengan cerita menak
  • Wayang golek gaya Tegal dengan cerita purwa dan menak

Wayang krucil

Wayang krucil adalah seni yang dibuat dari kulit dan berukuran kecil, sehingga lebih sering disebut dengan "Wayang Krucil". Pada akhirnya, seni ini menggunakan kayu pipih dua dimensi, yang disebut "Wayang Klithik". 

Bentuk wayang krucil di Jawa Tengah mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya menggunakan tutup kepala kipas, dodot rapekan, dan berkeris.

Di Jawa Timur, karakternya mirip dengan wayang purwa, dengan raja-raja memakai praba dan memakai mahkota. Tokoh raja di Jawa Tengah bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

Wayang krucil biasanya menggunakan cerita dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga Prabu Brawijaya di Majapahit, tetapi ada kemungkinan bahwa mereka juga menggunakan cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari babad tanah.

Tokoh wayang krucil:

  • Damarwulan
  • Menakjingga
  • Layangseta
  • Layang Kumitir
  • Logender
  • Prabu Kencanawungu
  • Patih Udara
  • Wahita
  • Puyengan
  • Adipati Sindura
  • Menak Koncar
  • Ranggalawe
  • Buntaran
  • Watangan
  • Anjasmara
  • Banuwati
  • Panjiwulung
  • Sabdapalon
  • Nayagenggong
  • Jaka Sesuruh
  • Prabu brawijaya
  • Angkatbuta
  • Ongkotbuta
  • Dayun
  • Melik
  • Klana Candrageni
  • Klanasura
  • Ajar Pamengger
  • Dewagung Walikrama
  • Dewagung Baudenda
  • Daeng Marewah
  • Daeng Makincing

Wayang beber 

Wayang beber adalah seni pertunjukan wayang yang disajikan dalam bentuk bentangan kertas atau kain bergambar dengan gaya kulit wayang, dan disertai dengan cerita yang diceritakan oleh seorang dalang.

Pertunjukan wayang beber pertama kali muncul dan berkembang di Jawa bagian Wengker (sekarang Ponorogo dan Pacitan).

Ini muncul sebelum kedatangan Islam karena Ponorogo sudah dapat membuat Daluwang atau kertas Ponoragan.

Namun, pertunjukan ini terus berlanjut hingga kerajaan Islam (seperti Kesultanan Mataram). Baik Mahabarata maupun Ramayana adalah sumber cerita yang digunakan di sini. Cerita-cerita Panji setelah Islam menjadi agama utama di Jawa.

Wayang gedog

Wayang Gedog bercerita tentang Sri Gatayu, Putera Prabu Jayalengkara, hingga masa Prabu Kuda Laleyan.

Sebagian besar orang percaya bahwa nama Wayang Gedog berasal dari fakta bahwa pertunjukan awalnya tidak memiliki iringan kecrek (besi), sehingga suara keprak "dog" adalah suara yang dominan.

Ada beberapa versi yang menyatakan bahwa Wayang Gedhog berasal dari kata "kedok" atau "topeng". Versi lain menyatakan bahwa Gedhog berasal dari suara hentakan kaki kuda. 

Sumber cerita Wayang Gedog adalah cerita Panji, yang muncul di Kediri dan Majapahit. Selama pemerintahan Jayabaya di Kediri pada abad ke-11, dia diberi gelar Sang Mapanji Jayabaya, dan memerintah dari 1135 hingga 1157.

Saat itu, istilah Panji digunakan untuk menggambarkan raja dan ksatria. Selain gelar panji, gelar juga muncul dengan nama binatang perkasa.

Dalam pementasannya, wayang gedog mengenakan gamelan berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok untuk karakter Panji tua, Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan Sebul-Palet untuk karakter Panji muda.

Dalam wayang gedog, figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi), payung yang tumbuh, perahu, dan lain-lain, sering muncul.

Wayang suluh 

Wayang Suluh adalah wayang kulit dengan tokoh-tokoh sehari-hari seperti Pak Lurah, Pak Haji, Ibu Guru, Bapak Guru, petani, saudagar, anak sekolah, dan siswa.

Selain itu, ceritanya sangat sederhana dan menggambarkan masalah sehari-hari dalam keluarga, masyarakat, dan kehidupan pedesaan. Ini sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu. 

Suluh berasal dari kata "secercah sinar". Pada masa setelah kemerdekaan, Departemen Penerangan menggunakan Wayang Suluh untuk mendidik masyarakat tentang pembangunan.

Wayang suluh dapat digunakan sebagai media penerangan yang dapat diandalkan. Dalam adegan Intermeso Limbukan, bahkan dalang wayang kulit memainkan wayang suluh. 

Memberikan penjelasan atau membuat hati yang gelap menjadi terang, membuat orang yang belum tahu menjadi mengerti, adalah arti dari "sesuluh". 

"Penyuluhan" memberikan pemahaman baru, penjelasan, kepada masyarakat yang belum mengerti sehingga mereka memahami program pembangunan pemerintah Orde Baru, yang sekarang dikenal sebagai "Sosialisasi".

"Penyuluh", juga dikenal sebagai "Juru Penerang", adalah orang atau pegawai pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengajarkan orang-orang tentang berbagai program pemerintah.

Pada masa itu, "Dalang" juga berfungsi sebagai juru penerang pemerintah dan membantu menyebarkan program pembangunan, salah satu medianya adalah Wayang Suluh. 

Wayang potehi

Wayang Potehi adalah wayang boneka kain. menggambarkan wayang dalam bentuk kantong kain. Wayang ini dimainkan dengan lima jari: jari tengah mengontrol kepala, dan ibu jari dan kelingking mengontrol tangan.

Selama Dinasti Jin (265–420 M), kerajinan Tionghoa tradisional ini berkembang selama kurang lebih 3.000 tahun.

Wayang potehi ini membutuhkan lima pemain: dua berperan sebagai dalang dan tiga sebagai pengiring musik. Wayang potehi biasanya bercerita tentang legenda dan kepahlawanan Tiongkok.

Wayang ini berbeda-beda tergantung pada ceritanya, dan alatnya termasuk tambur, musik gesek, simbah, dan lain-lain.

Lakonnya seperti Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie sangat populer dimainkan di kelenteng.

Dalam situasi di mana wayang potehi bermain di luar kelenteng, cerita-cerita populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang digunakan. 

Diceritakan bahwa pesakitan di penjara menemukan seni wayang ini. Lima orang dihukum mati. Empat orang langsung sedih, tetapi orang kelima memiliki ide yang luar biasa. Bersenang-senang daripada menunggu ajal.

Kemudian, sebagai pengiring permainan wayang mereka, lima orang ini mengambil panci dan piring dari sel dan mulai menabuhnya. Kaisar juga mendengar suara menyenangkan dari tetabuhan darurat ini, dan dia akhirnya memberi pengampunan.

Wayang madya

Wayang kulit dibuat oleh Mangkunegara IV untuk menyambungkan cerita Wayang Purwa dengan Wayang Gedog.

Cerita-cerita dalam Wayang Madya merupakan peralihan dari cerita-cerita Purwa ke cerita Panji, dan salah satu cerita yang paling terkenal dalam Wayang Madya adalah Anglingdarma. Wayang madya tidak pernah tumbuh di luar Pura Mangkunegaran. 

Cerita Wayang Madya berlangsung dari setelah Prabu Yudayana meninggal sampai Prabu Jayalengkara menjabat sebagai raja.

Raden Ngabehi Tandakusuma menulis Pakem Ringgit Madya, yang terdiri dari lima jilid, dengan masing-masing 20 cerita atau lakon.

Tokoh dalam wayang madya:

Ini pertama kali disebut Wayang Katolik, tetapi kemudian diubah menjadi Wayang Wahyu karena kisah pertunjukan wayang ini menggambarkan bagaimana Tuhan menyebarkan wahyu kepada umat-Nya.

Berdasarkan ide Bruder Timotheus L. Wignyosoebroto, Wayang Wahyu pertama kali dibuat di Surakarta pada tanggal 2 Februari 1960. Dua tahun sebelumnya, ia menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang didalangi oleh M. M. Atmowijoyo.

Kisah itu diambil dari Kitab Perjanjian Lama, Kisah "Dawud Mendapatkan Wahyu Kraton", tetapi diubah menjadi episode "Wahyu Cakraningrat" dari Mahabarata.

Sejak saat itu, Brother Timotheus telah mempertimbangkan untuk menyampaikan cerita-cerita keagamaan Katolik yang dibungkus dalam tradisi pewayangan.

Musik gamelan Jawa digunakan untuk menampilkan cerita wahyu, dan ada dalang yang menceritakan cerita babak demi babak.

Selama pertunjukan, orang-orang berbicara dalam bahasa Jawa. Wayang Wahyu ini dibuat dari kulit kerbau dengan teknik tatah sungging yang mirip dengan lakon wayang purwa.

Karakternya dibuat dengan cara yang tidak realistis. Wayangan ini biasanya dimainkan di gereja-gereja Katolik saat perayaan Natal atau Paskah. Kadang-kadang, mereka juga dimainkan saat ulang tahun gereja atau perayaan keagamaan yang terkait. 

Kisah-kisah keagamaan dari injil, baik yang lama maupun yang baru. Termasuk kisah tentang Kelahiran dan Kematian Yesus, Samson dan Delilah, David dan Goliath, Yohanes Pembaptis, dan banyak lagi.

Wayang orang 

Wayang orang adalah sejenis wayang yang dimainkan dengan orang sebagai tokoh dalam ceritanya. Pada tahun 1731, Sri Susuhunan Hamangkurat I mendirikan Wayang Wong di Kerajaan Mataram. 

Seperti namanya, wayang tersebut tidak lagi dimainkan dengan boneka wayang (biasanya terbuat dari kulit kerbau atau bahan lain), tetapi menggunakan manusia sebagai pengganti boneka wayang.

Mereka memakai pakaian yang mirip dengan hiasan wayang kulit. Pemain wayang wong sering kali mengubah atau menghias muka mereka dengan menggunakan gambar atau lukisan sehingga bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit ketika dilihat dari samping.

Beberapa epik besar, seperti Mahabharata dan Ramayana, menjadi inspirasi untuk wayang orang. Di setiap jeda cerita, pertunjukan wayang orang ini menampilkan tari kolektif atau individual per pemain, yang menjadikannya menarik.

Selain itu, wayang orang juga menampilkan tokoh punakawan sebagai pencair suasana, yang menggambarkan keadaan abdi dalem dan kawulo alit.

Referesi:

  • M.H, N. (2010). Wayang. Yogyakarta: Bintang Cemerlang.
  • Maharsi, I. (2018). Wayang Beber. Yogyakarta: Dwi-Quantum.

https://www.kompas.com/skola/read/2024/03/13/173000269/10-jenis-jenis-wayang-dan-pengertiannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke