Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ulee Balang, Pakaian Adat Aceh

Pakaian adat Ulee Balang awalnya hanya dipakai oleh keluarga raja, sekarang pakaian adat tersebut menjadi pakaian adat Aceh dan dipakai untuk upacara adat.

Dilansir dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), nama pakaian adat Aceh dikenal dengan Ulee Balang. Di mana baju adat Nanggroe Aceh Darussalam untuk laki laki sering dikenal dengan sebutan baju Linto Baro.

Sementara pakaian Aceh yang dikenakan oleh perempuan disebut baju Daro Baro.

Konon, pakaian adat tersebut sudah ada sejak masa Kerajaan Samudera Pasai.

  • Linto Baro

Linto Baro merupakan pakaian tradisional Aceh yang biasa dikenakan oleh laki-laki. Di mana dipakai untuk penganti laki-laki, tidak hanya itu, tapi juga untuk upacara-upacara adat atau pemerintahan.

Pada saat memakai Linto Baro mengenakan baje meukasah (baju jas leher tertutup), cekak musang (jas yang dilengkapi celana panjang), kain sarung (ija lamgugap).

Kemudian sebilah rencong atau siwah, meukeu top (bagian kepala ditutupi kopiah yang populer), tengkulok atau tompok.

  • Daro Baro

Daro Baro merupakan pakaian adat tradisional yang perempuan di Aceh.

Pada pakaian Daro Baro terdiri dari baju kurung berlengan panjang, celana cekak musang dan sarung (ija pinggang), dan perhiasan.

Desain pada pakaian adat perempuan dipengaruhi oleh budaya dari Melayu, Arab, dan China. Sehingga pakaian adat tersebut tampak longgar.

Bahan baku yang dipakai dalam membuat pakaian adat tersebut adalah bahan baku kain-kain yang ditenun sendiri baik dari bahan sutera maupun dari bahan kapas dengan ragam hias berbagai motif.

Di mana dengan komponen baju lengan panjang (bajee panyang sapai) berkerah China, warna polos dengan perhiasan ayeuem bajee atau taloe jeuem (tali jam).

Emas yang disematkan antara kancing kedua dari atas dan kantong baju dilengkapi dengan bungkoih ranub atau ija seumadah yang disematkan di bahu kanan.

Dikutip dari situs Pemerintah Provinsi Aceh, celana panjang (siluweue panyang) polos yang dilapisi dengan kain pinggang (ija pinggang) songket yang digulung hingga ujungnya (ulee ija) bagian bawah kira-kira 10 centimeter (cm) di atas lutut.

Memakai rincong meupucok di pinggang kanan, kupiah meukeutob yang dililitkan destar dari kain songket yang digulung (tangkulok meuglong).

Pada salah satu sudutnya hingga meninggalkan satu sudut berlawanan yang membentuk pucok reubong.

Pada posisi belakang kupiah meukeutob dengan perhiasan tampok yang dilengkapi dengan perhiasan prik-prik, pakai sepatu untuk pakaian adat lelaki.

Sama halnya dengan pakaian adat perempuan yang juga memakai bahan tersebut. Pada pakaian tersebut dengan komponen baju lengan panjang (bajee panyang sapai), warna hitam polos atau warna lain sesuai selera.

Siluweue inong atau siluweue tunjong yang dilapisi dengan kain pinggang (ija pinggang), songket yang digulung hingga ujungnya (ulee ija) bagian bawah kira-kira 10 cm di bawah lutut.

Selain itu jugaa dilengkapi perhiasan patham dhoe, bungong sunteng, ayeuem geumbak, ulee ceumara, subang, dan untaian bunga pada bagian kepala, klah takue, euntuek boh ru, keutap lhee lapeh, dan simplah di bagian leher dan dada.

Kemudian taloe keu-ieng patah sikureueng dan capeng pada pinggang, gleueng di lengan atas kiri dan kanan, dan sawek meurante pada kedua pergelangan tangan, memegang ayeuem bungkoih di tangan, gelang kaki (gleueng gaki), pakai sepatu atau sandal.

Ragam hias dan arti simbolik pakaian

Pakaian adat pada setiap suku bangsa mempunyai bentuk yang berlainan, salah satunya di Aceh. Bahkan memiliki makna yang berbeda pula.,

Dilansir dari buku Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Istimewa Aceh (1993), motif yang timbul pada pakaian adat di Aceh terdiri dari motif tumbuhan-tumbuhan sulur daun dan bunga-bungaan.

Diantara motif bunga-bungaan, merupakan motif yang paling digmari masyarakat. Namun, bagi masyarakat baik motif sulur daun maupun motif bunga serta motif lain disebut dengan bungong.

Bungong adalah hiasan atau motif dan dari motif itu ada yang benar-benar merupakan motif dari sekuntum bunga. Motif binatang hampir tidak dijumpai.

Motif atau ragam hias pada pakaian dapat disebut sebagai bungong glima (delima), seumanga (kenanga), keupula (kembang tanjung), seulupok (temtai), kundo.

Kemudian mancang (embacang), pucok reubong (tumpal), gaseng (gasing), awan-awan (awan berarak), reunek leuk (warna tembolok balam), si sek meuria (sisik rumbia), johang, dada limpeuen, (dada limpan), ayu-ayu (tirai), aneuk abrik (bludru), atau puta tnloe (pintal tali)

Arti simbolis yang terkandung di balik ragam hias tersebut tidak semuanya dapat diungkapkan.

Ada beberapa yang bisa diungkapkan, seperti motif peucok reubong (tumpal) yang mempunyai makna kesuburan dan kebersamaan.

Maksud bahwa setiap orang yang memakai kain dengan peucok reubong diharapkan bisa memperoleh kesuburan terutama memperoleh rezeki termasuk anak-anak sebagai pewaris keturunan.

https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/16/150000569/ulee-balang-pakaian-adat-aceh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke