Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ubur-Ubur Dapat Prediksi Bahaya Penambangan Laut

Kompas.com - 12/12/2023, 20:00 WIB
Usi Sulastri,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.comUbur-ubur dengan tubuh transparannya dan tentakel yang anggun bukan hanya sekadar pemandangan indah di kedalaman laut melainkan juga indikator kesehatan lingkungan laut yang sangat sensitif.

Kepekaan ubur-ubur terhadap perubahan lingkungan membuat mereka menjadi penanda perubahan dalam ekosistem laut.

Baca juga: Mengapa Ubur-ubur Tidak Memiliki Otak?

Kondisi seperti suhu air, ketersediaan pangan, dan kualitas air dapat memengaruhi migrasi, reproduksi, dan pertumbuhan populasi ubur-ubur. 

Sebuah studi yang dipimpin oleh GEOMAR Helmholtz Center for Ocean Research Kiel telah mengungkap wawasan signifikan mengenai dampak penambangan dasar laut dan pemanasan laut terhadap ubur-ubur helmet.

Penelitian ini diterbitkan di Nature Communications tahun 2023.

Penambangan laut menciptakan sedimen ancaman

Dilansir dari earth.com, Senin (27/11/2023), penambangan laut dalam secara tidak sengaja menciptakan gumpalan awan sedimen tersuspensi yang dapat menyebar secara luas di luar area penambangan.

Gumpalan ini dapat meluas hingga ratusan kilometer menghadirkan ancaman yang signifikan terhadap ekosistem perairan tengah yang umumnya memiliki tingkat sedimen yang rendah.

Penelitian ini merupakan langkah pertama dalam menyelidiki bagaimana ubur-ubur helmet merespons stres akibat simulasi gumpalan sedimen.

Para peneliti menemukan bahwa hewan-hewan di perairan tersebut sangat responsif terhadap keberadaan gumpalan sedimen.

Respons stres ubur-ubur akibat sedimen

Setelah terpapar selama sekitar 1,5 jam ubur-ubur mulai mengumpulkan partikel sedimen dan menghasilkan lendir berlebih sebagai respons terhadap situasi tersebut.

Baca juga: Benarkah Ubur-ubur Tidak Punya Jantung?

Vanessa Stenvers, salah seorang peneliti menjelaskan bahwa meskipun lendir membantu ubur-ubur dalam mempertahankan mikrobioma yang stabil, produksi lendir yang terus menerus ternyata memerlukan energi yang besar.

“Meskipun lendir membantu ubur-ubur mempertahankan mikrobioma yang stabil, produksi lendir yang terus menerus merupakan respons yang sangat mahal dan memerlukan sebagian besar dari energi,” kata Stenvers. 

Selain itu, perlakuan dengan tingkat sedimen tertinggi mendorong ekspresi gen yang terkait dengan pernapasan, kekebalan bawaan, dan perbaikan luka.

Hal ini mengindikasikan bahwa ubur-ubur merespons stres yang disebabkan oleh sedimen dengan mengaktifkan mekanisme pertahanan diri.

Lebih menariknya lagi, penelitian ini menemukan bahwa tekanan yang dihasilkan oleh sedimen lebih parah dengan peningkatan suhu air laut sebesar 4 derajat.

Model iklim saat ini memperkirakan kenaikan satu derajat dalam 84 tahun ke depan, menunjukkan bahwa gumpalan sedimen merupakan ancaman yang lebih mendesak.

Ubur-ubur dapat mengalami kelaparan

Dilansir dari Phys.org, Senin (27/11/2023), para peneliti mengkhawatirkan bahwa rangsangan stres yang memicu peningkatan pengeluaran energi dapat memerlukan upaya peningkatan asupan makanan sebagai respons.

Kondisi ini menjadi ancaman serius karena ketersediaan makanan di laut dalam umumnya terbatas dan pada akhirnya dapat mengakibatkan masalah kelaparan.

Baca juga: Habitat dan Makanan Ubur-ubur

Selain itu, penelitian ini menyoroti potensi dampaknya terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem kritis seperti penyerapan karbon dan siklus nutrisi.

Hal ini muncul dari pertimbangan bahwa organisme laut dalam lainnya mungkin menunjukkan respons serupa terhadap paparan sedimen.

Oleh karena itu, pemahaman lebih lanjut mengenai potensi dampak ini sangat penting dalam konteks pelestarian dan keberlanjutan ekosistem laut dalam yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekologis secara global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com