Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1/2016 (Pasal 4 ayat (3)), tentang BRG, prioritas perencanaan dan pelaksanaan restorasi gambut tersebut dimulai dari Kabupaten Pulang Pisau (luas gambut 519.320 ha, jumlah KHG 4) di Provinsi Kalimantan Tengah; Kabupaten Musi Banyuasin (luas gambut 291.054 ha, jumlah KHG 7) dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (luas gambut 1.087.938 ha, jumlah KHG 4) di Provinsi Sumatera Selatan, serta Kabupaten Kepulauan Meranti (luas gambut 363.476 ha, jumlah KHG 6) di Provinsi Riau.
Baca juga: Revitalisasi Gambut Riau: Menanam Tanpa Membakar, Mensejahterakan Tanpa Merusak Alam
Secara umum kinerja dan sasaran program/kegiatan BRG meliputi:
Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya di Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya. Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat, telah membuat peta terbaru bagian Bumi yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim.
Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di Bumi. Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L Noon ini menyebutkan, untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet.
Karbon yang dilepaskan melalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di Bumi. Monica dan tim menemukan wilayah di Bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga di antaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut Amerika Serikat.
Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan. Beberapa area itu merupakan kawasan mangrove, yang lain berupa lahan gambut.
Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon tersimpan itu dilepaskan oleh aktivitas manusia, butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih.
Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun. Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050.
Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan. Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim.
Jika itu terjadi, bakal terjadi bencana iklim. Resiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan itu, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal.
Indonesia bisa mengehemat miliaran dollar AS jika bisa menjaga dan memulihkan lahan gambutnya. Selain itu, upaya tersebut dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah 12.000 kematian dini.
Hasil kajian para peneliti dari University of Leeds itu diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada 2 Desember 2021. Hasil riset itu diperoleh dengan menganalisis data emisi kebakaran dan tutupan lahan berbasis model satelit.
Peneliti menemukan bahwa restorasi lahan gambut dapat menghasilkan penghematan ekonomi sebesar 8,4 miliar dollar AS untuk kurun waktu 2004-2015. Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen merestorasi 2,5 juta hektare lahan gambut yang rusak dengan proyeksi biaya 3,2 -7 miliar dollar AS. Biaya ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak kerugian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Indonesia yang mencapai 28 miliar dollar AS.
Studi tersebut menyatakan, jika restorasi telah selesai, area yang rusak karena terbakar pada tahun 2015 akan berkurang sebesar 6 persen, mengurangi emisi CO2 sebesar 18 persen, dan emisi partikel halus(PM2.5)- yang dapat menembus jauh ke dalam paru-paru- sebesar 24 persen sehingga bisa mencegah 12.000 kematian dini.
Laura Kiely, peneliti di University of Leeds, mengatakan bahwa terdapat banyak manfaat restorasi gambut dari manfaat lokal berupa berkurangnya kerugian properti, manfaat regional untuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat, hingga global berupa pengurangan emisi CO2.
Sebaliknya, kerusakan lahan gambut dapat memicu kebakaran, merusak lahan pertanian serta menggangu transportasi, pariwisata dan perdagangan. Kebakaran juga menghasilkan emisi CO2 yang besar.
Studi itu juga menyoroti pentingnya jumlah luas lahan yang direstorasi dan di mana restorasi terjadi. Disebutkan restorasi harus ditargetkan di area yang telah terbukti paling rentan terhadap kebakaran di masa lalu.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaston karbon, atau sekitar 55 persen karbon lahan gambut tropis dunia. Prosentase besar lahan gambut dunia yang di miliki Indonesia ini, jelas ada manfaat di seluruh dunia untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut di Indonesia.
Alasan-alasan ilmiah dari riset yang di kemukakan di atas, semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia untuk tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak tetapi juga meneguhkan akan moratorium permanen hutan primer rawa gambut menjadi mutlak, penting, dan diperlukan tidak hanya untuk masyarakat Indonesia tetapi juga kepentingan umat manusia di Bumi ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.