Oleh: Mikka Wildha Nurrochsyam
Wayang warisan budaya tak benda diakui oleh UNESCO (United Nations, Education, Scientific and Cultural Organization) sebagai karya besar budaya dunia (a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Karya wayang yang luar biasa itu, dapat dipandang dari sisi tuntunan (etis) dan tontonan (estetis) tetapi juga dari sisi kawruh (epistemologis).
Dari sisi epistemologis, wayang dipahami dan dipelajari secara ilmiah melalui perspektif keilmuan. Melalui kajian ilmiah beberapa sudut pandang teori maupun argumentasi, dapat digunakan untuk menafsirkan wayang secara logis dan rasional.
Baca juga: Sejarah Akulturasi Budaya China dalam Wayang Cina Jawa di Yogyakarta
Wayang telah menjadi kajian berbagai keilmuan, diantaranya: sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat dan sastra serta arkeologi.
Melalui pendekatan sosiologi, Benedict R.O’G. Anderson seorang ilmuwan politik menghasilkan sebuah buku yang berjudul Mythology and The Tolerance of The Javanese (2009).
Dalam bukunya dijelaskan, bahwa mitologi wayang Jawa merupakan upaya untuk menyelidiki eksistensi orang Jawa secara lebih baik.
Sedangkan, dalam perspektif antropologi, wayang diteliti oleh Victoria M. Clara van Groenendael.
Risetnya dilakukan relatif lama antara tahun 1976–978 di daerah-daerah bekas kerajaan Jawa telah menghasilkan karya dengan judul “Dalang di Balik Layar”.
Dalam pendekatan sejarah, wayang telah menjadi perdebatan klasik antara kelompok ilmuwan yang mendukung argumen, bahwa wayang berasal Jawa dengan kelompok yang mengatakan wayang dari India dan Cina.
Pendapat wayang asli Jawa diantaranya dikemukakan oleh G.A.J Hazeu. Dalam disertasinya yang dipertahankan di Universitas Leiden, ia menyimpulkan wayang asli Jawa.
Sedangkan, wayang berasal dari India dipertahankan oleh Pischel, Guru Besar Indology di Universitas Berlin.
Dan, wayang berasal dari China dipertahankan oleh Gosling yang berpendirian bahwa kata “ringgit”, yang merupakan Bahasa Jawa halus kata “wayang” itu berasal dari “yinggih” Bahasa China.
Selain dilihat dari perspektif ilmu, wayang dapat dilihat dari bidang filsafat moral atau etika. Franz Magnis Suseno adalah sosok filsuf moral yang mengemuka dalam penulisan etika wayang. Dalam bukunya Kita dan Wayang (1982).
Etika dilihatnya bukan pemikiran yang jauh dari hidup sehari-hari, tetapi dekat dengan hidup yang nyata. Wayang memberikan contoh sikap bebas dan bertanggung jawab dalam situasi yang konkrit.
Baca juga: 9 Fakta Galaksi Bima Sakti, dari Kisah Wayang sampai Serangan Bintang