Bila saya bertanya kepada teman-teman dokter mengenai evaluasi penggunaan obat, jawaban yang umum saya dapatkan adalah evaluasi hanya terjadi, bila pasien datang kembali untuk kontrol. Yang lebih sering terjadi adalah pasien tidak datang kembali.
Sulit kita menemukan kegiatan evaluasi penggunaan obat yang terprogram terhadap pasien. Apakah obatnya masih sesuai, apakah masih perlu dilanjutkan atau dihentikan, apakah dosisnya perlu diubah?
Untuk obat-obatan jangka pendek seperti antibiotika, biasanya sudah diberikan dalam jumlah tertentu.
Sehingga, untuk obat ini dokter dapat berpesan untuk dihabiskan, dan bila masalahnya belum hilang maka perlu dilanjutkan atau datang periksa ulang. Ini pun masih lazim dijumpai penggunaan obat antibiotika yang tidak sesuai anjuran.
Sedangkan untuk obat-obatan jangka panjang, seperti obat darah tinggi, kolesterol, diabetes melitus, penyakit tiroid, evaluasinya masih berdasarkan keluhan atau kesadaran dari para pasien saja.
Tidak jarang, pasien juga menghentikan sendiri penggunaan obat tanpa berkonsultasi lagi ke tenaga medis.
Baca juga: Minum Obat Hipertensi Seumur Hidup Tidak Sebabkan Penyakit Ginjal, Ini Penjelasannya
Berbagai hal yang bisa jadi penyebab yakni pengetahuan, masalah logistik, ataupun biaya kesehatan yang masih melalui kantung pribadi dan cukup rumit bila menggunakan BPJS, terlepas dari berbagai keunggulan dan perbaikan dari layanan BPJS.
Sebetulnya, ada panduan yang bisa digunakan untuk evaluasi ini, antara lain menggunakan kriteria STOPP (Screening Tool of Older Persons’ Prescriptions) dan START (Screening Tool to Alert to Right Treatment) untuk meninjau pengobatan yang berpotensi tidak tepat pada orang dewasa dan lansia.
Dokter atau tenaga medis seperti apoteker, dapat memeriksa apakah obat yang diresepkan benar dibutuhkan oleh pasien, apakah ada duplikasi obat dalam polifarmasi, dan apakah pasien sudah diberi obat sesuai dengan kebutuhan kondisinya.
Namun, keterbatasan waktu dan pengetahuan tenaga (para)medis sering kali menjadi alasan.
Solusinya, bisakah dibuat clinical pathways atau alur klinis untuk evaluasi penggunaan obat untuk penyakit kronis yang juga didukung oleh pembiayaan universal BPJS?
Clinical pathways bisa menjadi panduan evaluasi dari penggunaan obat, sehingga tujuan keselamatan pasien bisa lebih terjaga, termasuk misalnya kapan perlu uji resistensi bakteri terhadap antibiotika tertentu.
Baca juga: 4 Penyebab Munculnya Resistensi Antibiotik
Untuk menjamin keselamatan pasien, sebetulnya sudah ada aturan yang baku, misalnya pemberian etiket obat-obatan.
Etiket obat adalah label atau penanda obat yang diberikan oleh fasilitas kesehatan, baik praktik dokter, klinik, puskesmas, atau pun rumah sakit yang biasanya ditempel di depan kemasan obat atau alat kesehatan yang berguna untuk memberikan informasi penggunaan obat atau alat kesehatan tertentu pada penggunanya.
Selain itu, juga ada penanda dari golongan obat untuk bisa dijual bebas atau terbatas dengan resep dokter.
Bukan rahasia lagi, bahwa masyarakat dapat dengan mudah membeli obat-obat keras atau yang harus dengan resep di kios-kios obat atau bahkan kios umum di kaki lima. Lalu, siapa yang bertanggung jawab terhadap penjualan dan pemberian obat itu?
Akses untuk mendapat obat-obatan yang esensial tentunya perlu dipermudah untuk masyarakat yang membutuhkan, baik yang menggunakan pembayaran pribadi maupun asuransi dan BPJS.
Namun, kemudahan akses mendapatkan obat-obatan juga perlu dibarengi kontrol yang konsisten atas aturan distribusi obat, di mana obat golongan tertentu boleh diperjual-belikan.
Kontrol terhadap produksi obat dan pencegahan distribusi obat palsu atau obat kedaluwarsa
Tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab dari pengeruk untung sendiri adalah menjual obat palsu dan obat kedaluwarsa.
Bukan hanya merugikan secara materiil, tetapi juga bisa mengancam keselamatan jiwa dari pasien.
Sayangnya, pemalsu obat dan penjual obat kedaluwarsa masih saja ada dan hanya secara insidental ‘ditemukan’.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa obat palsu dan kedaluwarsa bisa juga dijual di apotek resmi dan didistribusikan oleh distributor resmi.
Alasan yang sering diungkapkan adalah merasa rugi untuk menghancurkan obat yang sudah lewat masa kerjanya atau karena obat yang asli harganya mahal.
Badan POM dan Kepolisian perlu dibantu oleh masyarakat untuk terus memberantas praktik-praktik keji ini.
Baca juga: Resistensi Antimikroba Mengancam Dunia, WHO Dorong Riset Pengembangan Vaksin