Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/03/2022, 17:32 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

 

KOMPAS.com - Steven Johnson syndrome adalah reaksi kulit parah yang paling sering dipicu oleh konsumsi obat-obatan tertentu.

Steven Johnson syndrome dan nekrolisis epidermal toksik dianggap sebagai kondisi yang terpisah, namun saat ini keduanya dianggap sebagai bagian dari kontinum. 

Steven Johnson syndrome merupakan akhir spektrum penyakit yang kurang parah dan nekrolisis epidermal toksik merupakan akhir yang lebih parah.

Dilansir dari Medline Plus, Steven Johnson syndrome sering dimulai dengan demam dan gejala mirip flu. 

Dalam beberapa hari, kulit mulai melepuh dan mengelupas, membentuk area yang sangat menyakitkan yang disebut erosi dan menyerupai luka bakar air panas yang parah. 

Baca juga: Meski Jarang Terjadi, Sindrom Peradangan Bisa Menyerang Orang Dewasa Pasca Covid-19

Erosi kulit biasanya dimulai pada wajah dan dada sebelum menyebar ke bagian tubuh lainnya. 

Pada sebagian besar individu, kondisi ini dapat merusak selaput lendir, termasuk lapisan mulut dan saluran udara yang dapat menyebabkan masalah pencernaan dan pernapasan. 

Steven Johnson syndrome juga sering mengenai mata, menyebabkan iritasi dan kemerahan pada konjungtiva , yaitu selaput lendir yang melindungi bagian putih mata dan melapisi kelopak mata.

Kerusakan parah pada kulit dan selaput lendir membuat Steven Johnson syndrome menjadi penyakit yang mengancam jiwa.

Pasalnya, kulit biasanya berfungsi sebagai penghalang atau pelindung sehingga kerusakan kulit dapat menyebabkan kehilangan cairan yang berbahaya dan memungkinkan berkembangnya infeksi. 

Baca juga: Long Covid-19 Pada Anak, IDAI Temukan Kasus Sindrom MIS-C di Papua

Sekitar 10 persen orang dengan Steven Johnson syndrome meninggal dunia karena penyakit ini.

Sementara itu, kondisi ini berakibat fatal pada hingga 50 persen dari mereka yang menderita nekrolisis epidermal toksik.

Di antara orang-orang yang bertahan hidup, efek jangka panjang dari Steven Johnson syndrome di antaranya adalah:

  • Perubahan warna kulit (pigmentasi)
  • Kekeringan pada kulit dan selaput lendir (xerosis)
  • Keringat berlebih (hiperhidrosis)
  • Rambut rontok (alopecia)
  • Pertumbuhan abnormal atau kehilangan kuku tangan dan kuku kaki. 

Penyebab Steven Johnson syndrome

Steven Johnson syndrome adalah penyakit langka dan tidak terduga. Dokter mungkin tidak dapat mengidentifikasi penyebab pastinya, tetapi biasanya kondisi ini dipicu oleh obat-obatan, infeksi, atau keduanya. 

Baca juga: Sindrom Peradangan Multisistem pada Anak akibat Covid-19 Bisa Sembuh dalam 6 Bulan

Dilansir dari Mayo Clinic, obat-obatan yang dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome adalah:

  • Obat anti asam urat, seperti allopurinol
  • Obat-obatan untuk mengobati kejang dan penyakit mental (antikonvulsan dan antipsikotik)
  • Sulfonamida antibakteri (termasuk sulfasalazine)
  • Nevirapine (Viramune, Viramune XR)
  • Pereda nyeri, seperti acetaminophen (Tylenol, lainnya), ibuprofen (Advil, Motrin IB, lainnya) dan naproxen sodium (Aleve).

Sementara itu, infeksi yang dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome adalah pneumonia dan HIV.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com