Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Kotoran Manusia Bisa Didaur Ulang, Saatnya Berhenti Merasa Jijik

Kompas.com - 25/02/2022, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berangkat dari keingintahuan kami tentang bagaimana penduduk setempat bisa menerima teknologi TLAD, kami melakukan wawancara mendalam dengan para kepala rumah tangga di daerah pedesaan. Kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar keengganan kultural dan religius terhadap kemurnian praktik dan polusi kotoran. Kami pun mencari tahu bagaimana keenganan tersebut dinegosiasikan ulang sehingga teknologi TLAD menjadi lazim digunakan.

Temuan paling penting kami adalah, memang butuh waktu sebelum norma sosial dan resistensi yang muncul di awal bisa berubah. Dalam beberapa kasus, beberapa rumah baru memasang TLAD setelah generasi yang lebih tua (dan lebih resisten terhadap teknologi) di dalamnya meninggal dunia.

Pemimpin komunitas – atau yang kami lebih suka sebut sebagai “pengambil risiko” – juga berperan penting dalam menggerakkan penggunaan toilet biodigester. Merekalah yang berani memasang TLAD di saat kebanyakan orang menentang praktik ini.

Beberapa anggota masyarakat rupanya khawatir TLAD akan membuat rumah mereka menjadi bau atau kotor, namun setelah mereka melihat sendiri cara kerja TLAD, mereka pun berubah pikiran.

Keuntungan seperti memiliki bahan bakar memasak gratis (yang berarti meniadakan keperluan mencari kayu bakar), bebas asap di dalam rumah, desain toilet yang lebih baik, dan berkurangnya masalah-masalah pembuangan sampah niscaya akan meyakinkan masyarakat untuk mengadopsi teknologi ini.

Selain itu, dengan melihat bagaimana tetangga sekitar menggunakan TLAD dan mempelajari sendiri cara kerja TLAD menjadi faktor yang mendorong para penduduk desa ini menggunakan alat tersebut di rumah mereka masing-masing.

Merangkul masa depan

Penemuan kami secara gamblang menemukan bahwa para pembuat kebijakan tidak bisa mendasarkan keputusan mereka pada persepsi awal masyarakat akan toilet daur ulang.

Mereka justru perlu merebut perhatian masyarakat dengan langsung menunjukkan teknologi ini dan menjelaskan manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Pemerintah juga harus memberikan waktu hingga masyarakat terbiasa dan melewati fase ketidaknyamanan mereka terhadap sebuah cara baru yang bisa jadi dianggap menantang.

Berkaca dari komunitas yang kami pelajari di Nepal, kebanyakan orang mulai merangkul TLAD ketika teknologi ini mulai lazim digunakan.

Di Singapura – di mana air minum dari sistem pembuangan air yang didaur ulang sudah dianggap lazim– para pihak berwenang justru memobilisasi kampanye media positif yang mengutarakan nilai sains dan lingkungan dari air minum ini. Otoritas juga menormalisasi konsumsi air daur ulang.

Para pembuat kebijakan juga perlu mengetahui kekuatan norma sosial serta nilai positif dan negatif yang dipegang oleh media dalam menginformasikan suatu hal kepada masyarakat umum.

Studi ini juga mengajari kita bahwa manusia bisa begitu enggan merangkul konsep daur ulang. Di Inggris, sistem pembuangan air dan sisa makanan boleh saja diubah menjadi biogas dan pupuk pertanian menggunakan biodigester. Namun, unit biogas skala kecil tetap saja belum lazim digunakan.

Oleh karena itu, kita perlu melewati fase enggan atau jijik yang biasanya muncul di awal demi memberikan ruang bagi suatu perubahan yang lebih baik.

Perlu diingat pula bahwa perubahan bisa terjadi ketika kita memiliki informasi yang tepat, melihat manfaat yang langsung terbukti serta berkontribusi nyata terhadap perbaikan lingkungan di sekitar kita.

Natalie Boyd Williams

PhD candidate Biological and Environmental Sciences, University of Stirling

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Tabu toilet: saatnya berhenti merasa jijik mendaur ulang kotoran manusia". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com