Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketahui Penyebab dan Tanda-tanda Hujan Es Akan Terjadi

Kompas.com - 22/02/2022, 16:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Berkaitan dengan fenomen hujan es yang terjadi di sejumlah daerah sepekan terakhir, masyarakat perlu mengetahui penyebab dan pertanda bagaimana hujan es akan terjadi. 

Hal ini adalah upaya untuk merespons, peringatan dini yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa potensi hujan es masih bisa terjadi dalam dua bulan ke depan, yakni Maret dan April 2022. 

Beberapa wilayah yang dilaporkan dilanda fenomena hujan es sepekan terakhir, yaitu Surabaya, Bekasi, Lampung, dan wilayah lainnya.

Baca juga: Hujan Es di Surabaya, Analisis BMKG Ungkap Penyebabnya

Berikut penjelasan tentang penyebab, pertanda, dan tips berlindung ketika hujan es terjadi.

Penyebab hujan es

Ahli Klimatologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Emilya Nurjani, dalam laman resmi UGM mengatakan, hujan es atau yang disebut hail bukanlah suatu hal yang aneh.

Hujan es adalah hasil dari pembentukan awan cumulonimbus yang tumbuh vertikal melebihi titik beku air.

Awan tersebut tumbuh di ketinggian sekitar 450 mdpl (meter di atas permukaan laut) hingga bisa mencapai 10.00 mdpl saat masa udara dalam kondisi yang tidak stabil.

Emilya menjelaskan, penyebab utama fenomena hujan es adalah kondisi alam yang termasuk kelembapan tinggi, massa udara yang tidak stabil, dan suhu permukaan bumi yang mendukung.

Selain itu, perubahan suhu udara di troposfer, bagian atas tempat terbentuknya awan-awan yang mengandung es, juga menjadi penyebab terjadinya hujan es.

"Jika suhu di permukaan Bumi cukup rendah, maka kristal es akan mencapai bumi dalam bentuk es atau hail, tetapi kalau suhu di permukaan bumi cukup panas maka es akan sampai di permukaan bumi sebagai hujan yang kita kenal," jelasnya.

Lebih lanjut, kata Emilya, di negara empat musim, hujan es yang jatuh berukuran besar saat musim dingin karena suhu udara di permukaan juga dingin sehhingga es yang turun tidak mencair.

Namun, yang terjadi di negara tropis termasuk Indonesia cenderung merupakan fenomena cuaca dengan dampak skala horizontal dan waktu yang berbeda-beda.

Awan stratus yang tidak tebal dan mengandung air menghasilkan hujan dengan durasi singkat yang intensitasnya ringan sampai sedang. Adapun wilayah yang terdampak hujan sekitar ratusan meter hingga 2 kilometer.

Sementara itu, awan cumulonimbus tumbuh vertikal ke atas dan tidak lebar sehingga wilayah terdampak hujan juga tidak luas, tetapi hujannya lebih deras.

Oleh karena itu, Kepala Bidang Diserminasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Hary Tirto Djatmiko menyampaikan bahwa kecenderungannya di Indonesia, fenomena hujan es sangat erat keterkaitannya dengan awan Cumulonimbus (Cb).

Pada awan ini terdapat tiga macam partikel yaitu butir air, butir air super dingin, dan partikel es.

"Sehingga, hujan lebat yang masih berupa partikel pada (es atau hail) dapat terjadi tergantung dari pembentukan dan pertumbuhan awan Cb tersebut," jelas Hary dalam pemberitaan Kompas.com edisi 22 Oktober 2021.

Biasanya Cumulonimbus adalah awan berbentuk berlapis-lapis dan seperti bunga kol, di antara awan tersebbut ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi, yang akan cepat berubah warna menjadi abu-abu atau hitam.

Butiran es ini terjadi ketika downdraft atau aliran udara ke bawah dari awan Cb cukup tinggi, dan didukung juga suhu permukaan atau daratan cukup dingin, maka hujan dari awan Cb jatuh dalam bentuk butiran es.

Baca juga: Fenomena Hujan Es di Surabaya Masih Berpeluang Terjadi, Ini Daftar Wilayah Waspada di Jawa Timur

ilustrasi hujan esIstimewa ilustrasi hujan es

Pertanda hujan es akan terjadi

Dilansir dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ada beberapa indikasi terjadinya hujan es yang disertai kilat dan angin kencang, yakni:

- Satu hari sebelumnya udara pada malam hari hingga pagi hari terasa panas dan gerah. 

- Udara terasa panas dan gerah karena radiasi matahari yang cukup kuat, ditunjukkan oleh nilai perbedaan suhu udara antara pukul 10.00 dan 07.00 LT (> 4.5°C) disertai dengan kelembapan yang cukup tinggi, ditunjukkan oleh nilai kelembapan udara di lapisan 700 mb (> 60%).

- Mulai pukul 10.00 pagi terlihat tumbuh awan cumulus. Di antara awan tersebut, ada satu jenis awan yang mempunyai batas tepi sangat jelas berwarna abu-abu. 

- Tahap berikutnya, awan tersebut akan berubah warna dengan cepat menjadi abu-abu atau hitam yang dikenal dengan awan cumulonimbus. 

- Pepohonan di sekitar mulai bergoyang cepat. 

- Terasa ada sentuhan udara dingin. 

- Biasanya hujan yang pertama kali turun adalah hujan deras tiba-tiba. 

- Jika 1-3 hari berturut-turut tidak ada hujan pada musim pancaroba atau penghujan, ada indikasi potensi hujan lebat yang pertama kali turun diikuti angin kencang, baik yang masuk dalam kategori puting beliung maupun yang tidak.

Baca juga: Bagaimana Hujan Es Terbentuk dan Apa Dampaknya?

Tips berlindung saat hujan es turun

Jika Anda sedang berawa di wilayah yang terjadi hujan es. Berikut beberapa tips yang bisa Anda lakukan untuk melindungi diri Anda.

- Berlindung dalam rumah atau bangunan yang kokoh

- Segera menepi ke warung-warung terdekat jika sedang berkendara, baik pengguna roda 4 atau roda 2

- Jangan beraktivitas di ruang terbuka

- Jangan masukkan es dari hujan itu ke dalam gelas sebagai minuman, karena kita tidak tahu partikel-partikel polutan apa saja yang ikut mengkristal

- Laporkan ke akun sosial media resmi BMKG baik di FB, Twitter, atau IG.

Baca juga: Waspada Peralihan Musim dari Hujan Lebat hingga Fenomena Hujan Es

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com