Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Anak Krakatau Meletus 2018 karena Longsor Bukan Ledakan Vulkanik, Studi Jelaskan

Kompas.com - 21/01/2022, 08:01 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

Hal itu dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.

Dengan begitu untuk letusan Gunung Anak Krakatau tahun 2018, diakui Mirzam menjadi cukup sulit untuk dideteksi.

Hal ini dikarenakan, magma di gunung tersebut masih berada di kedalaman yang cukup dalam ketika letusan terjadi.

Ia menjelaskan, diketahui keberadaan magma masih berada di kedalaman yang cukup dalam saat letusan 2018 terjadi itu karena tim peneliti telah mempelajari kristal yang ada di bebatuan sekitar area letusan terjadi ukurannya masih relatif kasar.

"Tahunya dari mana? Kita melihat kristal yang ada di batuan itu ukurannya masih relatif kasar, artinya magma itu tidak berada pada dekat permukaan, sehingga nanti kalau dia (kristal) ada di dekat permukaan kristal-kristalnya itu jadi ukurannya halus karena pendinginan yang cepat," jelasnya.

Baca juga: Apakah Erupsi Gunung Anak Krakatau Benar-benar Berhenti?

 

Oleh karena itu, para peneliti meyakini bahwa pemicu atau penyebab letusan Gunung Anak Krakatau saat itu adalah longsor, dan ini membuat pengamatannya menjadi penting serta berbeda dari sebagian besar erupsi akibat ledakan vulkanik lainnya.

“Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan sering kali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma, seperti gabus sampanye yang meletus," ujar Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham, sekaligus penulis senior makalah tersebut yang dilansir dari laman Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut. 

“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.

Baca juga: BMKG: Dentuman di Jakarta Tak Berkaitan dengan Gunung Anak Krakatau

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com