Tsunami yang terjadi setelah letusan eksplosif gunung Tonga dapat disebabkan beberapa hal, komponen batu yang kembali ke laut dan kehancuran sisi bawah laut dari gunung api.
Gelombang lebih dari satu meter yang tercatat di Nuku’alofa, kemungkinan terjadi akibat beberapa komponen seperti batu dan abu yang awalnya dimuntahkan ke atas kemudian turun kembali ke laut, lalu menyebabkan naiknya permukaan air.
Selain itu, energi ekstrem mampu menyebabkan semacam kegagalan di sisi bawah laut gunung berapi, serupa dengan letusan Gunung Anak Krakatau di Indonesia pada 2018.
Baca juga: BMKG Tegaskan Erupsi Gunung Api Bawah Laut di Tonga Tidak Berdampak Ke Indonesia
Para peneliti juga mempelajari efek medan jauh, gelombang kejut yang dapat berkontribusi pada peningkatan air laut di Selandia Baru, Australia, di pantai atau teluk kecil sepanjang Amerika Utara dan Amerika Selatan, serta Jepang.
Diperkirakan, ini terjadi akibat perubahan tekanan udara secara tiba-tiba yang menghantam permukaan laut.
“Ini bisa mengubah ketinggian di lautan dari milimeter menjadi sentimeter. Saat semakin dekat ke daratan, didukung kondisi yang tepat, ini bisa menghasilkan tsunami,” ujar Prof Dave Tappin dari British Geological Survey.
Dampak pada atmosfer dari letusan eksplosif terlihat jelas dalam citra satelit, menyebar luas dan bergerak ke segala arah, bahkan di belahan dunia lain.
Di Inggris, yang jaraknya cukup jauh dari Tonga, barometer bergerak pada saat yang diharapkan.
“Benda-benda ini bergerak dengan kecepatan suara. Jarak dari Tonga ke Inggris sekitar 16.500 km, dan dengan selang waktu sekitar 14 jam, ini memberi kecepatan kira-kira 300 m per detik,” ujar Prof Giles Harrison dari University of Reading.
Harrison menuturkan, barometer mencatat total tiga pulsa, dan terdapat kesejajaran dengan peristiwa Krakatau 1883. Ahli meteorologi Victoria melaporkan sinyal serupa.
Dituliskan The New York Times, foto-foto satelit menunjukkan gumpalan gas membubung hampir 20 mil ke atmosfer.
Beberapa ahli vulkanologi membandingkan ledakan dashyat Gunung Anak Krakatau pada 1883 dan letusan besar terakhir Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.
Pinatubo meletus selama beberapa hari dan mengirimkan sekitar 20 juta ton gas belereang dioksida ke statosfer atau atmosfer bagian atas.
Baca juga: Tsunami Tonga, Ahli Jelaskan Dampak Letusan Gunung Berapi Bawah Laut
Di statosfer, gas dikombinasikan dengan air untuk menciptakan partikel aerosol yang memantulkan dan menyebarkan sebagian sinar matahari, mencegahnya mengenai permukaan.
Ini berefek mendinginkan atmosfer sekitar 1 derajat Fahrenheit atau sekitar setengah derajat celcius selama beberapa tahun.
Menurut Profesor Ilmu Bumi di University of California, Berkeley, letusan Tonga hanya berlangsung sekitar 10 menit dan sensor satelit hari-hari berikutnya mengukur sekitar 400.000 ton sulfur dioksida mencapai statosfer.
“Jumlah SO2 yang dilepaskan jauh lebih kecil daripada Gunung Pinatubo,” ujar dia.
Dalam beberapa minggu atau bulan mendatang saat aktivitas Gunung Tonga telah mereda, para peneliti akan dapat lebih dekat memeriksa sisa-sisa dari kedua pulau tersebut.
Sebagian besar bagian di atas air telah hilang, sesuatu yang tidak mengherankan mengingat keganasan ledakan yang terjadi.
Sementara itu, citra satelit menunjukkan adanya kerusakan cukup besar akibat letusan Gunung Tonga.
Baca juga: 3 Fakta Tsunami Tonga akibat Letusan Gunung Berapi Bawah Laut
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.