Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER SAINS] Virus Flu Lain Mungkin Punah karena Pandemi | Dampak Ledakan Matahari Tabrak Bumi

Kompas.com - 31/10/2021, 09:07 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Kendati demikian, fenomena badai Matahari ini disertai dengan ejeksi massa koronal (CME) yang akan menghujani Bumi dengan partikel energik selama beberapa hari ke depan.

Peristiwa dari dampak badai Matahari atau ledakan Matahari ini pun akan menyebabkan beberapa gangguan.

Suar matahari adalah semburan radiasi yang kuat dari bintang Tata Surya kita. Ledakan-ledakan radiasi Matahari ini tidak dapat melewati atmosfer Bumi yang secara spesifik mengenai manusia di Bumi.

Selengkapnya baca di sini:

Ledakan Matahari yang Kuat Tabrak Bumi, Ini Dampak Radiasi Matahari pada Bumi

Rotasi bumi tahun 2021 melambat

Setelah pada tahun 2020, rotasi Bumi disebut berputar dengan cukup cepat. Namun anehnya tahun ini, para ilmuwan menemukan rotasi Bumi melambat di tahun 2021. Akan tetapi pencatat waktu mengatakan kita mungkin masih membutuhkan "detik kabisat negatif" dalam dekade berikutnya.

Dilansir dari Space, Kamis (29/10/2021), rata-rata, setiap hari Bumi berputar 86.400 detik. Akan tetapi, rotasi bumi tidak sempurna, rata-rata itu sedikit bervariasi sepanjang waktu tergantung pada pergerakan inti, lautan dan atmosfer.

Adapun rotasi Bumi adalah perputaran Bumi pada porosnya yang menyebabkan perubahan waktu siang dan malam.

Universal Coordinated Time (UTC), metode penunjuk waktu internasional resmi, didasarkan pada jam atom, yang mengukur waktu dengan pergerakan elektron dalam atom yang telah didinginkan hingga nol mutlak.

Jam atom tepat dan tidak berubah-ubah. Jadi ketika rotasi Bumi dan jam atom tidak cukup sinkron, maka ada sesuatu yang harus diberikan.

Terkait dampak rotasi Bumi melambat tahun 2021 ini, ketika waktu astronomis menyimpang dari UTC lebih dari 0,4 detik, UTC mendapat penyesuaian dalam bentuk "detik kabisat".

Selengkapnya baca di sini:

Rotasi Bumi di Tahun 2021 Disebut Melambat, Apa yang Terjadi?

Mahasiswa UGM kembangkan metode skrining kanker usus besar

Data Globocan tahun 2018 memaparkan bahwa kanker usus besar atau kanker kolorektal merupakan jenis kanker terbanyak kedua yang dialami pria Indonesia.

Itulah mengapa, sejak dini perlu dilakukan deteksi sehingga dapat membantu mengurangi risiko kanker usus besar dan menurunkan tingkat mortalitas akibat kanker ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com