Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vaksin Covid-19 Pfizer, Sputnik V, Moderna, dan Oxford AstraZeneca, Apa Bedanya?

Kompas.com - 20/11/2020, 17:30 WIB
Bestari Kumala Dewi

Penulis

KOMPAS.com - Setelah Pfizer, data awal vaksin Covid-19 Sputnik V dari Rusia menunjukkan 92 persen efektif melawan virus corona SARS-CoV-2.

Selain itu, pembuat obat AS lainnya, Moderna Inc, mengatakan kandidat vaksin mRNA milik mereka memberikan perlindungan kuat, menurut data awal dari uji coba tahap akhir perusahaan.

Moderna bahkan mengatakan vaksin eksperimental mRNA-1273 tampaknya 94,5 persen efektif – ini berarti melebihi vaksin Pfizer yang 90 persen efektif dan Sputnik V. 

Baca juga: Uji Klinik Vaksin Covid-19 Sinovac di Bandung, Bagaimana Perkembangannya?

Namun, hasil akhir uji coba vaksin Covid-19 dari kolaborasi Pfizer dan BioNTech menunjukkan tingkat keberhasilan 95 persen.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini ada lebih dari 150 vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan, dengan sekitar 44 kandidat dalam uji klinis dan 11 menjalani pengujian tahap akhir.

Hingga saat ini ada empat vaksin yang telah menyatakan efektif di atas 90 persen. Berikut perbedaannya: 

Vaksin Covid-19 Pfizer

Awal November lalu, Pfizer dan BioNTech menjadi perusahaan farmasi pertama yang merilis data awal uji klinis tahap akhir vaksin virus corona.

Mereka mengungkap data awal yang menunjukkan, bahwa kandidat vaksin yang mereka buat efektif 90 persen melawan Covid-19.

Dalam data awal uji klinis fase 3 yang disebut analisis interim tersebut, terdapat 94 kasus positif Covid-19 di antara 43.000 partisipan uji coba.

Tim ahli menemukan bahwa kurang dari delapan orang atau 10 persen kasus positif terdapat pada kelompok partisipan yang mendapatkan dua dosis vaksinnya.

Melansir laporan Daily Mail, seorang relawan mengatakan dirinya mengalami sakit kepala, demam, dan nyeri di sekujur tubuhnya setelah dosis pertama disuntikan dan menjadi lebih parah setelah suntikan kedua.

Seorang relawan lainnya, berusia 44 tahun mengatakan suntikan vaksin itu membuatnya merasa seperti sedang mabuk berat. Namun, gejalanya cepat hilang.

Perlu diketahui, bahwa semua relawan yang ikut serta tidak mengetahui apakah mereka menerima vaksin atau plasebo.

Baca juga: Tokoh di Balik Kesuksesan Vaksin Covid-19 BioNtech dan Pfizer

Kemudian, dua hari lalu (18/22), Pfizer dan BioNTech mengungkap hasil akhir uji coba vaksin Covid-19 yang menunjukkan tingkat keberhasilan 95 persen.

Uji coba fase 3 melibatkan 43.000 responden. Setiap responden akan diberi suntikan, antara vaksin atau plasebo.

Dalam kurun waktu tertentu, peneliti akan meninjau berapa banyak relawan yang sakit. Jika orang sakit yang mendapat suntikan vaksin lebih sedikit dibanding plasebo, artinya vaksin tersebut efektif.

Pfizer mengatakan, dari 43.000 relawan yang terlibat, ada 170 kasus Covid-19. Dari 170 kasus ini, hanya 8 orang yang sebelumnya disuntik dengan vaksin sungguhan yang dinamai BNT162b2. Sementara 162 orang disuntik plasebo.

Karena jumlah kasus Covid-19 yang disuntik vaksin BNT162b2 lebih sedikit, artinya tingkat efektivitas vaksin lebih besar dan mencapai 95 persen.

Dari 10 orang yang mengidap Covid-19 parah, satu orang sudah mendapat vaksin.

"Datanya sangat kuat," kata Ian Jones, profesor virologi di University of Reading, Inggris.

Seperti yang diberitakan Kompas.com sebelumnya, Pfizer dan BioNTech memakai teknologi terbaru berbasis versi sintetis molekul virus SARS-Cov-2 yang disebut “messenger RNA“ atau disingkat mRNA.

Sejauh ini belum ada vaksin berbasis teknologi ini yang diberi izin resmi. Vaksin yang diproduksi dengan teknologi terbaru ini ibaratnya meretas sel tubuh manusia, dan secara efektif merekayasanya menjadi "pabrik pembuat vaksin".

Keunggulan lain teknologi ini adalah produksi vaksinnya jauh lebih cepat, dibanding teknologi pembuat vaksin konvensional.

Baca juga: Vaksin Covid-19 Pfizer Harus Disimpan di Suhu Super Dingin, Begini Distribusinya

Ilustrasi vaksin Covid-19. (Do. Shutterstock) Ilustrasi vaksin Covid-19. (Do. Shutterstock)
Vaksin Covid-19 Sputnik V

Menyusul Pfizer dan BioNTech, data awal vaksin Covid-19 Sputnik V dari Rusia menunjukkan 92 persen efektif melawan virus corona SARS-CoV-2.

Menurut Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), hasil sementara vaksin Sputnik V itu berdasar data 16.000 peserta uji coba pertama yang menerima suntikan vaksin dosis kedua.

"Berdasarkan data, vaksin kami menunjukkan hasil sangat efektif (melawan Covid-19)," kata kepala RDIF Kirill Dmitriev pada Rabu (11/11/2020).

Uji klinis vaksin fase 3 yang dikembangkan oleh Gamaleya Institute dilakukan di 29 klinik di seluruh Moskow dan rencananya akan melibatkan 40.000 sukarelawan. Seperempat relawan (10.000 orang) akan mendapat suntikan plasebo.

Baca juga: BPOM Ungkap Proses Vaksin Covid-19 Sinovac untuk Dapat Izin Edar

RDIF mengatakan, hingga 11 November tidak ada efek samping serius yang dilaporkan selama uji coba Sputnik V fase 3.

Beberapa relawan mengalami efek samping ringan jangka pendek seperti rasa sakit di tempat suntikan, sindrom mirip flu termasuk demam, kelemahan, kelelahan, dan sakit kepala.

Pada akhir Oktober, vaksinasi relawan baru sempat dihentikan sementara, karena tingginya permintaan dan kekurangan dosis.

Vaksin Sputnik V dirancang untuk memicu respons dari dua suntikan yang diberikan dengan selang waktu 21 hari masing-masing berdasarkan vektor virus berbeda yang biasanya menyebabkan flu biasa: adenovirus manusia Ad5 dan Ad26.

Nama Sputnik V berasal dari peluncuran satelit pertama di dunia oleh Uni Soviet pada tahun 1957.

Seorang juru bicara mengatakan ada dua bentuk vaksin Sputnik V - cairan, yang harus disimpan pada suhu minus 18 derajat Celcius dan diliofilisasi (dikeringkan dengan beku), yang dapat disimpan pada suhu 2-8 derajat Celcius.

Baca juga: Survei Vaksin Covid-19: Mayoritas Penduduk Indonesia Bersedia Divaksinasi

Ilustrasi vaksin corona, vaksin virus corona, vaksin Covid-19Shutterstock/Blue Planet Studio Ilustrasi vaksin corona, vaksin virus corona, vaksin Covid-19

Vaksin Covid-19 Moderna

Selanjutnya, produsen obat AS Moderna Inc juga menyatakan vaksinnya 94,5 persen efektif, menurut data awal dari studi perusahaan yang masih berlangsung.

Uji coba vaksin ini melibatkan 30.000 orang di AS. Setengah dari mereka diberi dua dosis vaksin dengan jarak empat pekan. Sisanya mendapat suntikan placebo.

Analisis ini berdasar pada 95 orang pertama yang mengidap gejala Covid-19.

Hanya lima kasus Covid-19 terjadi pada mereka yang diberi vaksin, sementara 90 kasus tercatat pada mereka yang diberi suntikan placebo. Dengan demikian, perusahaan mengatakan, vaksin itu melindungi 94,5 persen dari seluruh relawan.

Baca juga: Menyusul Pfizer, Moderna Segera Umumkan Kemanjuran Vaksin Covid-19

Data itu juga menunjukkan adanya 11 kasus Covid-19 parah dalam uji coba ini, namun itu tidak terjadi pada mereka yang diberi vaksin.

Meski demikian, data tersebut masih awal dan belum ditinjau oleh ilmuwan lain.

Vaksin Moderna, yang dibuat dengan National Institutes of Health, sedang dipelajari pada 30.000 sukarelawan.

Meski tidak ada efek samping yang signifikan, relawan melaporkan efek samping seperti kelelahan, nyeri otot, dan nyeri di tempat suntikan setelah dosis kedua vaksin.

Uji coba tahap akhir Moderna sebenarnya dimulai pada hari yang sama dengan uji coba Pfizer pada akhir Juli, tapi Pfizer maju lebih dulu.

Hal ini terjadi karena dua dosis vaksin Moderna diberikan selang empat minggu, berbeda dengan Pfizer yang memberi vaksin dengan jeda tiga minggu

Sama seperti Pfizer, vaksin Moderna juga mengandalkan messenger RNA, atau mRNA, molekul genetik yang dibaca oleh mesin sel untuk membangun protein di dalam sel.

Pada vaksin Moderna, mRNA berisi instruksi untuk membangun protein spike virus corona, bagian yang membantu virus memasuki sel manusia.

Vaksin menginduksi sel manusia untuk membuat protein spike, dan sistem kekebalan kemudian membuat antibodi untuk menempel pada protein spike.

Antibodi yang distimulasi vaksin tersebut, bertugas untuk mencegah virus asli menginfeksi sel sehat pada tubuh di masa mendatang.

Meski memiliki pendekatan yang sama, vaksin Moderna tampaknya lebih mudah disimpan, karena tetap stabil pada suhu minus 20C hingga enam bulan dan dapat disimpan di lemari es standar hingga satu bulan.

Sedangkan vaksin Pfizer membutuhkan penyimpanan sangat dingin pada suhu sekitar minus 75C-80C, tetapi dapat disimpan di lemari es selama lima hari.

Baca juga: Vaksin Covid-19 Moderna dan Pfizer-BioNtech, Mana Lebih Unggul?

Ilustrasi vaksinasi pada lansiaSHUTTERSTOCK/BaLL LunLa Ilustrasi vaksinasi pada lansia

Vaksin Covid-19 Oxford AstraZeneca

Vaksin yang dinamai AZD1222 atau ChAdOx1 nCoV-19 ini dibuat didasarkan pada adenovirus simpanse, yang dimodifikasi untuk menghasilkan protein di dalam sel manusia yang juga diproduksi oleh Covid-19.

Dengan kata lain, vaksin vektor virus dibuat dari versi yang dilemahkan dari virus flu biasa yang menyebabkan infeksi pada simpanse.

Virus flu simpanse telah diubah secara genetik untuk memasukkan urutan genetik dari apa yang disebut protein spike yang digunakan virus korona untuk masuk ke sel manusia.

Harapannya, tubuh manusia akan menyerang virus corona SARS-CoV-2 jika melihatnya lagi.

Vaksin buatan Oxford yang akan diproduksi oleh AstraZeneca ini ditemukan dapat menimbulkan respons imunitas pada lebih dari 99 persen partisipan setelah pemberian dosis kedua.

Baca juga: Hasil Awal Uji Coba Vaksin Oxford Astrazeneca, Aman dan Efektif untuk Lansia

Kabar baiknya, itu termasuk pada partisipan lansia berusia 60-an dan 70-an, yang mana merupakan kelompok paling rentan Covid-19.

Dari 560 partisipan, termasuk kelompok lansia, tidak menunjukkan adanya efek samping buruk yang tidak terduga.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa uji coba vaksin Oxford dan Astrazeneca belum berakhir. Dalam uji fase tiga ini, tim peneliti masih akan mencari tahu apakah vaksin ini benar-benar efektif mencegah Covid-19.

Melansir BBC, Prof Andrew Pollard, pemimpin studi dari Universitas Oxford, mengaku sangat senang dengan hasil vaksin yang menunjukkan respons kekebalan yang kuat, bahkan pada mereka yang berusia di atas 70 tahun.

Prof Pollard menekankan, tak ada persaingan dengan vaksin lain, justru banyak vaksin harus berhasil.

Tantangan dalam mengembangkan vaksin Covid-19 adalah bagaimana memicu tubuh melawan virus corona, tidak peduli berapa pun umurnya.

Sistem kekebalan orang tua yang lebih lemah, membuat vaksin cenderung tidak berfungsi sebaik yang mereka lakukan pada orang yang lebih muda.

Hasil uji coba dari Universitas Oxford ini, telah ditinjau oleh rekan sejawat di Lancet, menunjukkan bahwa kemungkinan tidak akan ada masalah.

Orang dewasa tua berusia 56-69 dan lebih dari 70 tahun memiliki respons kekebalan yang serupa dengan orang dewasa muda berusia 18-55 dengan vaksin ini.

Untuk penyimpanan, vaksin Oxford harus disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 2-8 derajat Celcius.

Baca juga: Apakah Mungkin Akan Ada Lebih dari 1 Vaksin Virus Corona Covid-19?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com