Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fosil Kerang Ungkap Waktu di Bumi Tidak Sampai 24 Jam, Kok Bisa?

Kompas.com - 12/03/2020, 08:02 WIB
Imamatul Silfia,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah analisis dari fosil kerang zaman Cretaceous menunjukkan, pada 70 juta tahun lalu, hari di Bumi setengah jam lebih pendek, tidak sampai 24 jam.

Hasil analisis ini diperoleh dari sebuah batu yang telah terkubur di tanah selama jutaan tahun.

Menurut ilmuwan, analisis ini dapat membantu mereka mengetahui secara akurat tentang pergerakan Bulan yang secara perlahan menjauhi Bumi, seperti dilansir dari Science Alert, Rabu (11/3/2020).

Untuk dapat memahami perubahan rotasi Bumi, manusia hanya dapat bergantung pada bagaimana planet ini merekam perubahannya dari waktu ke waktu.

Misalnya, perubahan radiasi matahari yang tercatat dalam batuan purba, cocok dengan siklus matahari selama puluhan ribu tahun.

Baca juga: Jarak Bumi dan Bulan Kian Jauh, Ini Efeknya Bagi Waktu

 

Berdasarkan catatan itu, para ilmuwan mengetahui satu hari di Bumi hanya sekitar 18 jam pada 1,4 miliar tahun yang lalu.

Dalam penemuan ini, peneliti mendapatkan perhitungan dari sebuah cangkang kerang yang disebut Torreites sanchezi

T. sanchezi berasal dari sekelompok bivalvia, atau disebut rudis, yang musnah pada peristiwa Cretaceous-Palaeogene pada 66 juta tahun yang lalu.

Bentuknya seperti vas dengan tutup di bagian ujung yang lebih lebar. Bivalvia ini mendominasi ekosistem terumbu karang. Akan tetapi, mereka memiliki kemiripan dengan kerang modern.

Baca juga: Bukti Baru, Neanderthal Kumpulkan Kerang dari Lautan untuk Bikin Alat

Sebagaimana cincin pohon yang dapat menunjukkan tahun pertumbuhannya, kerang tersebut juga dapat menunjukkan keadaan pada masanya.

Kerang itu dapat mengungkapkan kondisi air, seperti suhu dan kandungan kimia pada rentang waktu harian, serta bagaimana hewan ini hidup.

"Kami memiliki sekitar empat sampai lima poin data per hari. Ini adalah sesuatu yang hampir tidak pernah didapatkan sepanjang sejarah geologi. Kami dapat melihat hari pada 70 juta tahun yang lalu," ungkap ahli geokimia Niels de Winter dari Vrije Universiteit Brussel di Belgium.

Para peneliti mendapatkan fosil T. sanchezi dan mengamatinya dengan berbagai teknik analisis, termasuk spektrometri massa, mikroskop, analisis isotop stabil, dan fluoresensi sinar-X mikro.

Hasil analisis kimia dari kerang ini mengungkapkan air laut pada 70 juta tahun lalu jauh lebih hangat dibandingkan sekarang. 

Bivalvia ini tumbuh subur dalam air dengan suhu yang mencapai 40 derajat Celcius pada musim panas dan lebih dari 30 derajat Celcius pada musim dingin.

Cincin kerang juga menunjukkan faktor-faktor musiman, contohnya lapisan kerang akan tumbuh lebih gelap pada musim dingin.

Baca juga: Temuan Fosil Es 4,6 Miliar Tahun pada Meteorit, Ungkap Awal Tata Surya

Faktor musiman seperti ini membantu para ilmuwan mengidentifikasi rentang waktu tahunan dalam pola garis yang terlihat pada kulitnya, karena cincin musiman cocok dengan satu sama lain.

Tim peneliti menggunakan data ini untuk mengukur lama hari saat bivalvia tersebut hidup.

Mereka mengungkapkan T. sanchezi hidup selama sembilan tahun. Dengan menghitung cincin kerang di tiap tahunnya, baik secara visual maupun kimiawi, mereka mendapatkan 372 cincin per tahun, bukan 365 cincin.

Seperti yang diketahui, lama waktu satu tahun kurang lebih tetap sama, karena orbit Bumi tidak berubah. Berarti lama waktu dalam satu hari, yang ditentukan dari rotasi Bumi, telah berubah menjadi lebih panjang, dari 23,5 jam menjadi 24 jam.

Baca juga: Rahasia Alam Semesta: Mungkinkah Dulu Bumi Purba adalah Dunia Air?

Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan cincin kerang tumbuh lebih cepat di siang hari.

Artinya, T. sanchezi membentuk hubungan simbiosis dengan organisme fotosintetik yang mirip dengan kerang raksasa saat ini. Keduanya memiliki hubungan simbiosis dengan ganggang.

Peter Skelton dari The Open University, yang tidak terlibat dalam penemuan tersebut mengatakan, sejauh ini, argumen masih bersifat spekulatif, berdasarkan hanya pada sifat morfologis yang sugestif, dan dalam beberapa kasus terbukti keliru.

"Makalah ini akan menjadi yang pertama memberikan bukti untuk mendukung hipotesis tersebut," ucap Skelton.

Perubahan pergerakan Bumi dan Bulan

Rotasi Bumi yang melambat sebenarnya cukup stabil dan terkait dengan Bulan. Karena perlambatan ini dipengaruhi oleh gesekan pasang surut di Bumi.

Pasang surut Bumi dipengaruhi oleh tarikan gravitasi dari Bulan. Namun, rotasi Bumi memiringkan bagian pasang di depan Bulan dalam orbit planet ini. 

Hal ini menciptakan kekuatan rotasi antara dua benda yang mempercepat pergerakan Bulan, menyebabkannya berangsur-angsur menjauh dari Bumi.

Saat ini, Bulan bergerak lebih jauh dari orbit Bumi sekitar 3,82 cm per tahun. Jika menggunakan perhitungan ini, seharusnya posisi Bulan dan Bumi sangat berdekatan pada 4,5 miliar tahun lalu, yang dapat hancur karena kekuatan pasang surut.

Baca juga: Asteroid Baru Ditemukan Mengorbit Bumi

Para ilmuwan menduga jarak perubahan gerak Bulan berubah dari waktu ke waktu. Akan tetapi, perhitungan tepat mengenai seberapa cepat pergerakan Bulan sulit untuk diketahui.

Catatan geologi lainnya yang ditemukan mengenai perbedaan lama hari pada sejarah Bumi dapat membantu untuk mengungkap percepatan gerak Bulan dengan lebih tepat. Bahkan juga dapat membantu mengungkap kapan Bulan pertama kali terbentuk.

Para peneliti berusaha mendapatkan data tersebut dengan fosil karang moluska yang lebih tua dari T. sanchezi, untuk dapat mengetahui waktu di Bumi pada puluhan juta tahun lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com