Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Hasil Riset Tidak Menjadi Kebijakan?

Oleh: Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra

SAYA sering mendengar keluhan kolega peneliti tentang tidak digunakannya hasil riset dalam pembuatan kebijakan.

Keluhan demikian terkadang ditimpali dengan keluhan bahwa pengambil kebijakan memang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan pemanfaatan hasil riset sebagai landasan pengambilan kebijakan dan lebih mementingkan masukkan dari pihak lainnya yang dianggap lebih sesuai dengan kepentingannya.

Namun, apakah ketidakpedulian atas hasil riset atau ketidaksesuaian hasil riset dengan kepentingan menjadi satu-satunya faktor pengabaian hasil riset dalam pengambilan kebijakan?

Boleh jadi, ada juga faktor internal dari hasil atau proses riset yang berperan.

Saya mencoba merefleksikan pengalaman 8 tahun sebagai PNS Peneliti di Pemerintahan untuk menjawabnya. Suatu refleksi pribadi tentunya tidak bisa menghindari unsur subjektivitas karena perbedaan pengalaman.

Namun, refleksi ini bisa menjadi autokritik yang dapat mendorong perbaikan.

Saya mengidentifikasi 6 faktor internal penyebab hasil riset tidak menjaadi landasan kebijakan.

Pertama, keraguan terhadap kualitas hasil riset.

Ketika hasil riset akan diterapkan menjadi kebijakan, maka harus dipastikan dahulu jika hasil risetnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dihadapan komunitas ilmiah baru kemudian dikomunikasikan kepada pembuat kebijakan.

Keyakinan ini penting sebab kebijakan akan berpengaruh kepada kehidupan banyak orang, sehingga tentunya tidak bisa sembarangan hasil riset disodorkan kepada pembuat kebijakan.

Keraguan tersebut muncul karena adanya beberapa masalah pada ekosistem ilmiah kita.

Belum lepas dari ingatan kita berita menghebohkan tentang perjokian publikasi ilmiah. Praktik perjokian publikasi ilmiah tentunya memunculkan keraguan atas kompetensi dan integritas dari peneliti pelaku riset.

Dengan adanya keraguan tersebut tentunya wajar belaka jika efek lanjutannya adalah munculnya keraguan terhadap kualitas risetnya.

Kemudian, dalam sebuah tulisan pada salah satu media nasional, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro menyampaikan perihal masih banyaknya publikasi ilmiah riset Indonesia yang diterbitkan pada jurnal predator.

Menurut beliau, kondisi tersebut menjadi indikator jika kualitas hasil riset tersebut belum layak menjadi landasan kebijakan.

Publikasi ilmiah pada jurnal predator, tentunya tidak melalui proses telaah ilmiah yang sesuai standar komunitas ilmiah. Ketika suatu hasil riset tidak melalui proses telaah ilmiah yang standar, maka wajar jika muncul keraguan terhadap kualitas dari hasil riset tersebut.

Faktor kedua ialah mengenai masalah tidak terkomunikasikannya hasil riset pada pengambil kebijakan.

Hasil riset biasanya disajikan dalam bahasa ilmiah pada media publikasi ilmiah seperti jurnal ilmiah dan buku ilmiah atau laporan penelitian.

Artikel dalam jurnal ilmiah biasanya cukup singkat dengan rerata halaman sejumlah 15. Walau jumlah halamannya sedikit, namun Ia disajikan dalam bahasa ilmiah.

Penggunaan bahasa ilmiah sebenarnya wajar, sebab jurnal ilmiah merupakan media komunikasi komunitas ilmiah. Akan tetapi, kondisi demikian membuatnya tidak ideal sebagai media komunikasi hasil riset kepada pembuat kebijakan.

Sementara itu media publikasi ilmiah seperti buku ilmiah atau laporan penelitian cukup tebal dengan rerata halaman lebih dari 50 serta tentunya ditulis dalam Bahasa ilmiah.

Kondisi demikian tentunya tidak ideal bagi pembuat kebijakan untuk membaca dan memahami hasil riset tersebut.

Para pembuat kebijakan biasanya adalah orang yang sangat sibuk sehingga tidak mempunyai waktu untuk membaca dan memahami laporan penelitian atau buku ilmiah yang tebal serta penuh dengan bahasa teknis ilmiah.

Untuk dapat dikomunikasikan kepada pembuat kebijakan, maka hasil riset harus ditulis dalam bahasa kebijakan serta dalam format ringkas sehingga dipahami oleh mereka.

Untuk mengatasi masalah ini peneliti harus berkolaborasi dengan analis kebijakan guna menerjemahkan bahasa ilmiah ke bahasa kebijakan.

Penggunaan bahasa kebijakan, merupakan keahlian profesional analis kebijakan yang tidak dimiliki oleh semua peneliti/akademisi. Kolaborasi adalah suatu keniscayaan, agar hasil riset terkomunikasikan kepada pembuat kebijakan.

Ketiga, faktor waktu riset.

Riset mendalam memerlukan waktu lama, bahkan mungkin hingga berbilang tahun. Sementara itu terkadang kebijakan perlu diambil segera, sehingga tidak bisa menunggu proses riset yang lama.

Dalam keadaan demikian, tentunya pengambil kebijakan akan mencari bahan pertimbangan lainnnya yang bisa tersedia lebih cepat. Faktor waktu erat kaitannya dengan faktor selanjutnya yakni masalah kedalaman dari hasil riset.

Keempat, hasil riset tidak memotret keseluruhan masalah.

Idealnya riset memberikan pengetahuan mendalam dan menyeluruh atas suatu masalah. Namun realitasnya tidaklah demikian, riset yang menyeluruh dan mendalam memerlukan waktu lama.

Faktor keempat ini berkaitan erat dengan faktor ketiga perihal waktu. Riset yang dilaksanakan dalam waktu singkat seringkali hanya memberikan informasi tentang sisi permukaan masalah.

Implikasi selanjutnya ialah rekomendasi kebijakan dari hasil riset menjadi parsial sehingga tidak menyelesaikan keseluruhan masalah.

Keterkaitan faktor waktu dengan kedalaman hasil riset ini pernah saya alami.

Sekitar 4 tahun lalu saya dan tim ditugaskan melakukan kajian naskah akademik dengan waktu sekitar 3 bulan.

Setelah naskah akademik selesai dan disampaikan ke pengambil kebijakan ternyata masih banyak sisi masalah yang belum terpotret.

Kondisi demikian, mengakibatkan dilakukannya pengulangan pengumpulan data dalam waktu sekitar satu tahun untuk memperoleh potret masalah yang cukup menyeluruh.

Walau demikian, ketika naskah akademik tersebut digunakan dalam proses pembuatan kebijakan tetap saja ada sisi masalah yang belum terpotret.

Alhasil, ketika kebijakan diputuskan maka tidak sepenuhnya sama dengan rekomendasi pada naskah akademik karena mempertimbangkan hal-hal yang belum terpotret didalamnya.

Kelima, faktor kondisi ideal pada hasil riset. Pada umumnya peneliti mengandaikan suatu situasi yang ideal dan rekomendasi hasil riset juga menunjukkan suatu hal ideal yang harus diwujudkan oleh pengambil kebijakan.

Keadaan ideal yang direkomendasikan pada dasarnya baik dan perlu diwujudkan.

Akan tetapi, keadaan ideal tersebut terkadang menjadi dilema bagi pembuat kebijakan karena Ia belum tentu memiliki kewenangan penuh untuk mengambil kebijakan guna mewujudkan kondisi ideal tersebut.

Pada akhirnya keadaan ideal yang direkomendasikan tersebut harus dikompromikan dengan realitas yang dihadapi pembuat kebijakan. Implikasinya hasil riset tidak sepenuhnya atau bahkan sama sekali tidak dapat diwujudkan menjadi kebijakan.

Keenam, peneliti/akademisi bukan satu-satunya aktor pemengaruh dalam pengambilan kebijakan.

Pada buku Policy Making, Riant Nugroho mengidentifikasi 7 aktor pemengaruh terhadap pembuatan kebijakan, yakni: penasihat kebijakan, peer group dari pembuat kebijakan, media massa, kelompok kepentingan, ilmuwan, aktor tak teridentifikasi, dan negara lain.

Mengingat banyaknya aktor pemengaruh pembuatan kebijakan, maka hasil riset dari peneliti/akademisi bukan satu-satunya bahan pertimbangan pembuat kebijakan dalam memutuskan kebijakan.

Pembuat kebijakan tentunya mempertimbangkan masukkan dari berbagai aktor sesuai dengan lingkup kebijakan yang diambil. Dengan demikian, maka kebijakan yang diambil tentunya tidak seluruhnya sama dengan hasil riset bahkan bisa berbeda dengan hasil riset.

Kiranya demikianlah berbagai faktor internal yang menjadikan hasil riset tidak diterima sebagian atau seluruhnya sebagai landasan kebijakan.

Semoga menjadi suatu refleksi bersama dan bahan untuk memperkuat ekosistem ilmiah serta keterhubungannya dengan proses perumusan kebijakan.

Sri Gilang Muhammad Sultan Rahma Putra
Peneliti Pusat Riset Hukum – OR IPSH BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/11/28/140000123/mengapa-hasil-riset-tidak-menjadi-kebijakan-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke