Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengatasi Polusi Udara dengan Teknologi Plasma

Oleh: Anto Tri Sugiarto dan Suherman

HARI ini berbagai media sedang ramai memberitakan tentang polusi udara di DKI Jakarta yang semakin parah dan sangat membahayakan jiwa.

Presiden, wakil presiden, dan para anggota legislatif memberikan perhatian yang serius tentang pencemaran ini.

Pencemaran udara bukanla masalah baru, malah seolah sudah menjadi masalah abadi bangsa yang tak kunjung selesai. Padahal korban yang diakibatkan oleh pencemaran udara lebih dahsyat dari pada tragedi bom atom atau nuklir.

Menurut catatan WHO, polusi udara tiap tahunnya membunuh tidak kurang dari 7 juta orang. Bahkan polusi udara disinyalir bisa meningkatkan risiko kematian Covid-19.

Masih menurut WHO, 5000 orang meninggal tiap hari akibat mengkonsumsi air tercemar.(Tempo, 22 April 2020).

Akan tetapi dunia seolah adem ayem saja, para pemimpin negara seolah menganggap ringan, para politisi menganggap itu bukan isu penting dan tidak populer, dan masyarakat pun akhirnya lupa serta tak peduli dengan ancaman polusi ini.

Menurut WHO (2006) udara tercemar dapat menyebabkan risiko terbesar bagi kesehatan, termasuk memperburuk penyakit jantung dan paru kronis, diabetes, kanker, juga mempengaruhi kesehatan anak dengan hasil kelahiran yang tidak sempurna, memperlambat pertumbuhan paru-paru, hingga menyebabkan pneumonia dan stunting.

Bagaimanakah upaya kita dalam mencegah supaya genosida atau bunuh diri massal penghuni bumi akibat “bom polusi” ini tidak terjadi?

Dalam mengatasi polusi ada tiga elemen penting yang terlibat: Pertama, political will dari pemerintah untuk menangani lingkungan hidup bersih. Tegas dan konsekuen dalam menegakkan UU Lingkungan, regulasi, dan kebijakan.

Kedua, kesadaran lingkungan dari masyarakat.

Pendidikan kita belum bisa menanamkan nilai sejak usia dini bahwa membuang sampah/limbah sembarangan hukumnya dosa dan tindakan yang tidak pancasialis, bukan tindakan rasional, dan bukan perilaku orang yang terpelajar.

Banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa pencemaran lingkungan yang saat ini terjadi akibat perilaku keseharian yang tidak mempedulikan beban lingkungan.

Ketiga, pemanfaatan teknologi yang tepat dalam mengatasi polusi. Selama ini teknologi untuk mengatasi polusi kurang mendapatkan perhatian serius di Indonesia.

Di berbagai negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Eropa telah beralih ke teknologi plasma karena teknologi ini adalah teknologi bersih yang sangat ramah lingkungan.

Selain itu juga lebih efektif dan efisien mengolah limbah dari berbagai kegiatan industri, domestik, dan kendaraan bermotor.

Udara dicemari oleh bahan bakar fosil dan organik yang mengakibatkan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6) yang terlepas ke udara terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi maka terjadilah pemanasan global dan hujan asam (HNO3 dan H2SO4).

Menurut hasil riset yang dilakukan oleh ITB (2020), sumber utama pencemaran udara di DKI Jakarta berasal dari asap knalpot kendaraan, pembakaran batu bara, pembakaran terbuka, konstruksi, debu jalan, dan partikel tanah yang tersuspensi menjadi sumber utama pencemaran udara di Jakarta.

Banyak macam teknologi untuk pengatasi pencemaran udara, dalam tulisan ini kami menawarkan solusi teknologi plasma yang simple, ekonomis, dan sangat ramah lingkungan.

Dewasa ini teknologi plasma semakin berkembang dengan mengkombinasikan teknologi nanobubble untuk menghasilkan kabut ultra halus (nanomist) yang mengandung oksigen aktif, ozone dan radikal OH serta ion positif dan negatif.

Teknologi Ozon Nanomist, sebagai kombinasi dari Plasma dan Nanobubble, yang kami kembangkan pada saat pandemik Covid-19 tidak hanya berhasil menangkap polutan partikel debu, mematikan bakteri, dan menonaktifkan virus di udara, tapi juga dapat mematikan dan menonaktifkan mikroba yang berada di permukaan benda.

Produk-produk hasil riset yang kami kembangkan tidak hanya untuk pertimbangan kesehatan tetapi juga untuk tujuan membangun lingkungan hidup yang nyaman.

Teknologi Plasma juga dapat mengatasi pencemaran yang berasal dari sumbernya, misalnya penggunaan plasma electrostatic precipitators (PESP) yang dapat menghilangkan berbagai macam partikel seperti jelaga dari pembangkit listrik termal, batu bara, kabut minyak, bubuk resin, bubuk kaca, debu, dan bubuk besi yang dihasilkan dari insinerator, boiler, dan berbagai pabrik manufaktur.

ESP telah dikomersialkan oleh Cottrell di Amerika Serikat pada tahun 1907 untuk mengumpulkan kabut asam sulfat.

Di Jepang, industrialisasi berat dimulai pada tahun 1910-an, masalah polusi yang disebabkan oleh emisi asap dari pabrik mulai muncul dengan meningkatnya kebutuhan listrik dan ESP dipasang pada fasilitas tersebut.

Menurut Journal of the Institute of Electrical Engineers of Japan pada tahun 1921, sembilan unit ESP digunakan untuk keperluan industri di Jepang. ESP buatan dalam negeri menjadi produk utama setelah paten Cottrell berakhir pada tahun 1933.

ESP secara kasar dibagi menjadi tipe basah dan tipe kering, dan dipasang di pembangkit listrik termal, pabrik kimia, dan lain-lain untuk tujuan menangkap partikel halus di ruang yang luas.

Dewasa ini tidak hanya ESP tetapi sudah menjadi PESP dan sering dipasang sebagai bagian dari sistem pengolahan gas buang.

Secara keseluruhan, tidak hanya mengumpulkan jelaga, tetapi juga menghilangkan NOx dan SOx.

Selain itu, ESP juga bisa digunakan di terowongan jalan tol secara praktis

Dengan memakai teknologi plasma, polutan udara yang berupa aerosol (debu), NOx, SOx, logam, dan gas rumah kaca—yang berasal dari pembakaran batubara (PLTU), pembakaran sampah, dan pembakaran BBM—dapat diatasi secara efektif dengan biaya yang murah.

Teknologi plasma juga memiliki beberapa kelebihan yaitu pembuatan peralatan dan meintenance-nya sangat mudah dengan memiliki efektivitas penguraian cukup tinggi.

Struktur yang mudah dari peralatan teknologi plasma memungkinkan misalnya dipasang langsung pada knalpot kendaraan bermotor untuk mengurangi kadar NOx.

Selain menguraikan senyawa organik, teknologi plasma juga saat ini dikembangkan untuk membersihkan udara yang tercemar virus dengan cara memfilter udara melalui reaktor plasma maupun melalui gas ozon yang dihasilkan oleh reaktor plasma tersebut.

Penerapan teknologi plasma nanobubble bisa mengolah polutan dari sumbernya sampai pada pengolahan udara yang sudah tercemar dalam ruangan.

Keunggulan dari teknologi ini adalah dapat menangkap aerosol dari sumbernya, juga dapat menetralisasi aerosol yang sudah terpapar di udara.

Sejatinya dengan menerapkan teknologi plasma kendala teknologi untuk menangani pencemaran udara tida menjadi masalah.

Yang jadi persoalan adalah poltical will pemerintah dan para pemimpin dalam menyelematkan planet bumi ini.

Apakah tetap menyerah pada godaan kapital untuk kepentingan sesaat dengan resiko kehancuran planet bumi dan membunuh generasi. Ataukah akan bertindak rasional dengan memakai teknologi bersih dalam semua aktivitas industri?

Apabila tidak ada perubahan perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungan, pemerintah lemah dalam menegakkan legislasi/regulasi, dan aktivitas industri tidak beralih pada teknologi bersih atau green technology, maka pencemaran udara akan meledak menjadi bom polusi yang membinasakan penghuni bumi.

Anto Tri Sugiarto
Ahli Plasma BRIN

Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/10/03/170000323/mengatasi-polusi-udara-dengan-teknologi-plasma

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke