Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bisa Ular Kobra Semburan Racunnya Tidak untuk Membunuh, Studi Jelaskan

KOMPAS.com- Gigitan kobra dengan bisa ular yang mematikan adalah kecelakaan alami, hampir setiap spesies ular mengembangkan kemampuan menyuntikkan racunnya untuk melumpuhkan mangsanya.

Namun, racun pada beberapa spesies ular hanya untuk melumpuhkan mangsa dan bukan untuk pertahanan.

Akan tetapi, studi baru menunjukkan bahwa beberapa ular benar-benar mengembangkan bisa mereka untuk mengusir pemangsa potensial, termasuk manusia.

Para ilmuwan internasional, dalam sebuah studi menunjukkan jenis unik dari racun dan strategi envenomation yang berevolusi pada setidaknya tiga kesempatan.

Kobra dan rinkhal, spesies ular kobra meludah berleher cincin yang biasanya ditemukan di Afrika Selatan, adalah ular yang memiliki kekerabatan dekat yang memiliki kemampuan menyemburkan bisa cukup jauh.

Sehingga, pada manusia yang tidak waspada akan merasakan efek tidak menyenangkan dari semburan bisa ular kobra ini.

Dilansir dari Science Alert, Sabtu (23/1/2021), kandungan bisa ular kobra yang meludah memiliki bahan kimia berbahaya, jika terkena mata, maka akan dapat melumpuhkan kornea.

Hal itu akan menyebabkan rasa sakit yang hebat dan dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kebutaan.

Taring ular ini seperti pistol air dan racun yang membutakan tidak sepenuhnya tepat untuk melumpuhkan mangsa. Jadi para peneliti melihat ini sebagai kesempatan sempurna untuk menyelidiki sejarah evolusi ular dari karakteristik ular berbisa yang tidak biasa ini.

Evolusi bisa ular kobra

Ular pertama kali mengembangkan kemampuan untuk menyuntikkan racun antara 60 hingga 80 juta tahun yang lalu.

Sejak itu, ribuan spesies ular dalam superfamili Colubroidea telah mengubah resep aslinya dan memodifikasi bagian mulut mereka agar sesuai dengan kebutuhan makanan mereka.

Dalam studi ini, peneliti menggunakan fosil sebagai kalibrasi dengan teknik penanggalan molekuler pada genom sejumlah ular kobra meludah (Naja species), rinkhals (Hemachatus haemachatus), dan kerabat spesies ini yang tidak meludah (Walterinnesia aegyptia dan Aspidelaps scutatus).

Hasil studi yang telah dipublikasikan di jurnal Science ini menunjukkan kobra meludah Afrika mengembangkan kebiasaan mereka antara 6,7 hingga 10,7 juta tahun yang lalu. Sedangkan kerabat dekat mereka dari Asia mengikutinya pada 4 juta tahun kemudian.

Rinkhal sulit dijelaskan, tetapi kemampuan menyemburkan bisa telah terpisah dari kobra meludah lainnya pada lebih dari 17 juta tahun yang lalu.

Berdasarkan analisis racun pada bisa ular kobra tersebut, peneliti mengungkapkan bahwa penampilan mereka tampak memiliki lebih banyak kesamaan satu sama lain, daripada kerabat yang tidak meludah.

Kecuali kandungan racun neurotoksik pada spesies ular kobra Naja philippinensis.

Efek kimia pada racun yang menyakitkan juga telah diuji dengan menggunakan jaringan dan saraf yang hidup.

"Kami menguji bagaimana komponen racun memengaruhi saraf penginderaan rasa sakit dan menunjukkan bahwa kobra yang meludahkan racunnya menyebabkan rasa sakit yang lebih efektif dibandingkan kobra yang tidak meludah," kata ahli saraf Irina Vetter dari University of Queensland, Australia.

Selain itu, dari jumlah hasil menunjukkan kobra meludah dan rinkhal menggunakan kembali racun dan taring mereka secara independen, berubah menjadi mekanisme pertahanan yang mampu mengurangi ancaman dari predator besar.

Namun, peneliti tidak bisa memastikan predator besar yang dimaksudkan. Mereka menduga berdasarkan bukti yang ada, kemungkinan predator besar adalah primata, sebab ular telah memengaruhi neurologi dan perilaku primata.

"Sangat menarik untuk berpikir bahwa nenek moyang kita mungkin telah mempengaruhi asal mula senjata kimia pertahanan pada ular," kata pakar bisa ular Nick Casewell dari University of Liverpool, Inggris.

Ironisnya, dengan memahami hubungan evolusi antara racun dan tubuh kita sendiri, kita berada pada posisi yang lebih baik dalam mengidentifikasi mekanisme potensi untuk kelas pengobatan baru.

Sifat analgesik dari bisa ular derik, misalnya, ternyata dapat memberi kesempatan untuk sembuh pada jutaan orang yang hidup dengan nyeri neuropatik.

"Racun penyebab rasa sakit dari bisa hewan dapat menjadi alat yang berguna untuk membantu kita memahami sinyal rasa sakit pada tingkat molekuler," kata ahli biologi molekuler University Queensland, Sam Robinson.

Selain itu, kata dia, manfaat bisa ular juga dapat membantu peneliti mengidentifikasi target baru untuk obat penghilang rasa sakit di masa depan.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/23/170200723/bisa-ular-kobra-semburan-racunnya-tidak-untuk-membunuh-studi-jelaskan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke