Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Awan Cumulonimbus dan Apa Dampaknya?

KOMPAS.com- Fenomena mirip puting beliung terjadi di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, pada Rabu (20/1/2021). Angin ini disebut muncul dari sistem awan cumulonimbus (Cb).

Fenomena tersebut menghebohkan warga sekitar dan ramai diperbincangkan di medis sosial.

Seperti diberitakan Kompas.com, kendati mirip dengan puting beliung, namun fenomena ini adalah waterspout.

"Kalau di darat namanya puting beliung, kalau di atas air (danau) atau di selat atau laut namanya waterspout," ujar Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG yang dihubungi Kompas.com, kemarin.

Fenomena waterspout menurut Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Miming Saepudin, mekanismenya sama seperti puting beliung dan muncul dari sistem awan cumulonimbus (Cb), kemudian turun ke bawah seperti belalai.

Lantas, apa itu awan cumulonimbus?

Siswanto mengatakan keberadaan awan cumulonimbus bisa dilihat orang dari permukaan berupa awan besar kelabu, cenderung gelap dan menjulang tinggi seperti bunga kol.

Awan cumulonimbus adalah jenis awan cumulus yang terkait dengan badai petir dan hujan lebat, dikutip dari Universe Today, Kamis (21/1/2021).

Awan ini juga merupakan variasi dari nimbus atau awan bantalan presipitasi yang rata-rata kebanyakan terbentuk di bawah 20.000 kaki dan relatif dekat dengan daratan.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa awan cumulonimbus sangat lembab. Sebab, awan ini juga mengandung banyak air, sehingga membuatnya tampak gelap di langit.

Pembentukan awan cumulonimbus

Awan cumulonimbus juga dikenal sebagai thunderheads atau kepala petir karena bentuknya yang unik menyerupai jamur.

Saat tetesan air yang terionisasi di awan saling bergesekan, maka di jantung awan cumulonimbus ini akan muncul kilatan-kilatan. Muatan statis yang terbentuk itu menciptakan petir.

Terbentuknya awan cumulonimbus ini membutuhkan kondisi yang hangat dan lembab.

Dalam beberapa kasus, thunderhead dengan energi yang cukup dapat berkembang menjadi supercell yang dapat menghasilkan angin kencang, banjir bandang, dan banyak petir.

Bahkan, beberapa di antaranya dapat menghasilkan angin tornado atau puting beliung, jika kondisinya tepat.

Kendati hujan deras yang dihasilkan oleh cumulonimbus, biasanya menyebabkan curah hujan hanya berlangsung sekitar 20 menit.

Hal ini disebabkan karena awan tidak hanya membutuhkan banyak energi untuk terbentuk, tetapi juga mengeluarkan banyak energi.

Namun, ada pengecualian, yakni ada juga badai petir kering yang dapat berupa awan cumulonimbus, yang mana curah hujan tidak menyentuh tanah.

Jenis ini umum terjadi di Amerika Serikat bagian barat, di mana tanahnya lebih kering dan biasanya sering disebut sebagai penyebab kebakaran hutan.

Cumulonimbus adalah awan yang sering dikaitkan dengan berbagai penyebab cuaca ekstrem. Dampak awan cumulonimbus ini bisa menyebabkan berbagai bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang, badai petir, dan curah hujan yang tinggi.

Awan cumulonimbus adalah contoh sempurna tentang bagaimana perbedaan ketinggian dapat memengaruhi pembentukan awan.

Awan ini terbentuk di bagian bawah troposfer yakni lapisan atmosfer yang paling dekat dengan permukaan Bumi. Karena penguapan dan efek rumah kaca, maka wilayah ini menghasilkan udara hangat yang memungkinkan terciptanya awan cumulus dan awan cumulonimbus.

Turbulensi yang diciptakan oleh gesekan antara udara dan permukaan bumi dikombinasikan dengan panas yang tersimpan dari matahari, sehingga membantu mendorong sebagian besar cuaca.

Cumulonimbus juga sering disebut sebagai salah satu penyebab utama kecelakaan pesawat. Salah satunya, meski masih diselidiki penyebab pastinya, namun jatuhnya pesawat Sriwijaya Air JT 182 kemungkinan akibat faktor cuaca terkait dengan keberadaan awan cumulonimbus.

https://www.kompas.com/sains/read/2021/01/21/162600023/apa-itu-awan-cumulonimbus-dan-apa-dampaknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke