Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Literasi Gizi Rendah, Alasan Utama Kental Manis Masih Dikira Susu

KOMPAS.com - Para ahli mengingatkan bahwa kental manis bukanlah produk susu, melainkan bahan minuman manis gula yang beraroma susu.

Hal ini karena dalam satu kemasan produk kental manis, 50 persen bahan yang terkandung di dalamnya adalah gula, dan bahan susunya hanya sedikit sekali.

Namun sayangnya, masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi bahwa kental manis adalah susu dan sumber energi yang baik untuk anak-anak. Bahkan, persepsi ini telah tertanam selama puluhan tahun.

Akibatnya, masih banyak orangtua yang memberikan kental manis sebagai konsumsi anak karena belum mengetahui aturan Badan POM bahwa kental manis bukanlah sumber energi susu dan hanya pelengkap rasa.

Dalam diskusi daring bertajuk Diskusi Terbatas 2 Tahun Per BPOM No 31 Tahun 2018: Pemerintah Setengah Hati Mengurusi Susu Kental Manis, Kamis (15/10/2020); ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E Halim mengakui bahwa kental manis, walaupun ada kandungan susu, tapi tidak dominan dan relatif kecil.

"Kita pernah berdiskusi dan kita sepakat kata susu akan dihilangkan. Waktu itu permintaan kami adalah pre-edukasi masyarakat," kata Rizal 

Menurut dia, edukasi ini harus dilakukan karena ini repetisi puluhan tahun menggunakan iklan.

Literasi gizi yang rendah

Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Natalya Kurniawati, sependapat dengan Rizal.

Dia menyampaikan, persoalan kental manis ini dikarenakan mindset bahwa produk ini adalah susu telah mengakar selama bertahun-tahun. Terlebih lagi, literasi gizi masyarakat menengah ke bawah masih tergolong rendah.

"Riset tentang literasi pangan, di tahun 2018, (menunjukkan) masyarakat sebenarnya masih tahunya empat sehat lima sempurna, belum ke pedoman gizi seimbang," kata Natalya.

Hasil survei yang dilakukan oleh YLKI tersebut menunjukkan bahwa 65 persen dari 400 rumah tangga di Depok dan Solo tidak tahu tentang pedoman gizi seimbang, dan memberikan kental manis untuk balitanya usai pemberian ASI.

Sebesar 21,2 persen konsumen di Depok juga menempatkan susu kental manis sebagai tambahan gizi di menu makanannya.

Sementara itu, 35 persen keluarga dengan anak-anak usia 5-18 tahun di Solo menyatakan kental manis masuk menjadi menu makanan sehari-hari dalam keluarga.

Melihat hasil yang memprihatinkan ini, Natalya berpendapat bahwa konsumen harus benar-benar dibangkitkan fungsinya sebagai informan atau penentu.

Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra Chaerunnisa M.Kes juga mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah istilah "kental manis" menjadi "produk penambah rasa". Sebab, kental manis memiliki fungsi yang sama seperti sirup, hanya saja beraroma susu. 

"Juga harus ada batasan penggunaan kental manis ini yaitu di atas usia 5 tahun, karena pada usia ini merupakan usia emas," ujarnya.

Kepada Badan POM, Chaerunnisa menyarankan untuk melibatkan banyak organisasi, serta memanfaatkan media sosial dan influencer untuk mensosialisasikan pesan utama bahwa kental manis bukan produk susu dan justru bisa menyebabkan stunting (kondisi di mana pertumbuhan anak terhambat karena kurang gizi).

Kandungan dalam produk kental manis

Kandungan gula pada produk kental manis bisa mencapai 40-50 persen.

Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penelitian telah menunjukkan bahwa kandungan gula yang tinggi, lebih mematikan daripada kandungan lemak tinggi.

Konsumsi gula lebih dari 10 persen energi total juga berisiko terhadap menurunnya sensitivitas insulin, dan ini akan memicu hiperglikemia atau kadar gula darah lebih tinggi dari batas normal.

Lebih lanjut, kadar gula yang tinggi meningkatkan risiko diabetes, obesitas dan kerusakan gigi anak-anak.

Sebaliknya, kandungan kalsium dan protein dalam kental manis lebih rendah daripada susu bubuk atau susu segar.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/10/24/190600823/literasi-gizi-rendah-alasan-utama-kental-manis-masih-dikira-susu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke