Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membaca Pola Karhutla

Oleh: Sugeng Budiharta

KEBAKARAN hutan dan lahan (harhutla) di Indonesia telah menjadi bencana rutin tiap tahun. Kebijakan dan upaya di lapangan terus dilakukan oleh berbagai lembaga dari pusat hingga daerah. Presiden Jokowi tidak bosan-bosan menekankan kewaspadaan dalam mitigasi dan penanggulangan karhutla.

Selain kewaspadaan, diperlukan kecermatan dalam membaca pola karhutla untuk efektifitas mitigasi dan efisiensi sumber daya.

Saat ini dan beberapa bulan ke depan, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim kemarau. Meskipun di beberapa daerah hujan masih terjadi, bahkan mengakibatkan banjir, potensi resiko kekeringan dan karhutla masih mengintai di bulan-bulan mendatang.

Tak kurang, Presiden, Ketua MPR dan Menko Polhukam mengingatkan perlunya antisipasi permasalahan karhutla meski negara tengah berjuang melawan pandemi Covid-19 (Media Indonesia, 24 Juni 2020).

Di tengah keterbatasan sumber daya, baik anggaran, waktu dan sumber daya manusia, karena sebagian besar dialokasikan untuk penanganan Covid-19, diperlukan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani karhutla sehingga sumber daya tersebut tidak mubadzir.

Pemahaman mengenai kapan, di mana dan siapa di balik karhutla diperlukan untuk menentukan strategi mitigasi yang efektif.

Pola karhutla

Hasil penelitian kami yang baru diterbitkan di jurnal ilmiah Global Environmental Change menunjukkan bahwa sebaran dan intensitas karhutla mempunyai pola tertentu bergantung pada kondisi iklim tahunan, lokasi dan sektor penggunaan lahan.

Memang secara umum, karhutla terjadi setiap tahun. Namun kajian kami menemukan bahwa karhutla dengan sebaran yang sangat luas dan intensitas sangat tinggi terjadi pada saat kondisi iklim sedang mengalami musim kemarau panjang dengan curah hujan sangat rendah, atau sering disebut El-Nino.

Pada tahun-tahun kering tersebut, misalnya tahun 2002, 2006 dan 2015, kejadian karhutla meningkat secara eksponensial, bahkan hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun-tahun biasa.

Kejadian karhutla juga berkaitan erat dengan lokasi di mana kebakaran tersebut terjadi. Lahan gambut yang terdegradasi berat dengan tutupan hutan yang terbatas mengalami kebakaran jauh lebih parah dibandingkan pada lahan non-gambut dengan kondisi hutan yang masih baik.

Lahan gambut terbentuk dari tumpukan material organik tumbuhan yang tidak membusuk dengan sempurna karena adanya genangan air. Pada kondisi aslinya dengan tutupan hutan yang baik, lahan gambut hampir selalu basah sepanjang tahun.

Namun seringkali, untuk pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan, hutan pada lahan gambut ditebang dan gambutnya dikeringkan dengan cara membuat kanal. Dapat dibayangkan, gambut kering dengan tutupan hutan yang minim tersebut menjadi bahan bakar yang awet, terutama pada tahun-tahun kemarau panjang.

Selain iklim dan kondisi lahan, sektor penggunaan lahan juga menentukan pola dan tingkat keparahan karhutla. Pada tahun-tahun dengan musim kemarau yang pendek, karhutla dengan intensitas rendah terutama terjadi pada daerah yang didiami masyarakat tradisional yang bergantung pada sektor pertanian subsisten. Masyarakat tersebut umumnya berada di pelosok atau sekitar hutan dan terbiasa mempraktekkan pola ladang berpindah.

Namun, pada saat tahun-tahun kering El-Nino, karhutla dengan intensitas tinggi merebak terutama di kawasan perkebunan intensif. Umumnya, sektor penggunaan lahan ini berada di areal terbuka dengan tutupan hutan yang terbatas, relatif lebih mudah diakses, dan sebagian berada di kawasan gambut yang terdegradasi.

Strategi mitigasi

Dari kajian kami, ada tiga hal prioritas yang perlu mendapat perhatian sebagai upaya mitigasi karhutla.

Pertama, perlunya deteksi dini dalam mengantisipasi tahun-tahun kering minim hujan atau El-Nino.

Dalam hal ini, peran Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjadi sentral untuk memperkirakan terjadinya tahun-tahun El-Nino.

Meskipun hingga saat ini kondisi iklim tahunan masih sulit diprediksi, kajian kami mengindikasikan bahwa tahun-tahun kemarau panjang umumnya ditandai dengan curah hujan yang minim pada awal periode musim kemarau yang biasanya dimulai bulan Mei. Namun demikian, perlu dikaji lebih dalam mengenai indikasi tersebut.

Kedua, lahan gambut terdegradasi sebagai kawasan prioritas untuk mengurangi risiko kebakaran.

Dalam hal ini, pelarangan penggunaan api secara total untuk membuka lahan di kawasan gambut menjadi strategi kunci, terlepas kondisi iklim tahunannya. Upaya-upaya yang dirintis oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) yang mengkampanyekan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) patut diteruskan dan diperbesar skalanya.

Strategi tersebut perlu dibarengi dengan restorasi lahan gambut secara berkelanjutan dengan tujuan untuk menjaga gambut agar tidak kering.

Ketiga, lebih memperketat pengawasan pada sektor perkebunan intensif sebagai sektor prioritas mitigasi karhutla.

Upaya-upaya pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku karhutla pada sektor perkebunan intensif telah dijalankan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi ini perlu diperkuat dengan peran serta dari masyarakat dan akademisi, namun mereka harus diberikan perlindungan hukum sehingga tidak dikriminalisasi seperti yang terjadi pada seorang guru besar IPB.

Seperti halnya pengobatan penyakit, karhutla yang diibaratkan penyakit kronis perlu didiagnosa sumber dan pola permasalahannya sebelum kita dapat meresepkan solusi yang efektif. Tidak hanya untuk memecahkan masalah tahun ini, namun juga untuk tahun-tahun ke depan sehingga kejadian dan dampak karhutla dapat dimitigasi secara berkelanjutan.

Sugeng Budiharta, PhD

Peneliti bidang ekologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

https://www.kompas.com/sains/read/2020/09/25/183000223/membaca-pola-karhutla

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke