Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Antara Dua Endeavour dan Era Baru Penerbangan Antariksa Berawak

TAK banyak pemerhati aeronotika astronotika yang nir–antusias terhadap penerbangan wahana antariksa (wantariksa) Crew Dragon Demo–2 ke stasiun antarika internasional ISS pada akhir bulan Mei lalu. Saya adalah salah satu di antaranya.

Bukan pada kinerja roket Falcon 9 yang tetap mengesankan. Falcon 9 masih tetap menjadi satu–satunya roket ulang–alik operasional pada saat ini, teknologi inovatif terbaru yang demikian mereduksi ongkos terbang ke langit.

Bukan juga karena penerbangan bersejarah tersebut terjadi pada waktu yang salah. Di kala segenap penjuru Amerika Serikat diguncang demonstrasi antirasialisme besar–besaran seiring kematian tragis George Floyd.

Lalu, bukan juga karena penerbangan ini terjadi di tengah pandemi Covid–19 yang tak berkeruncingan dengan negeri Paman Sam itu menjadi salah satu negara yang belum berhasil mengontrolnya.

Demikian pula bukan akibat pengaruh ketidakrelaan emosional domestik atas keputusan pemerintahan Presiden Jokowi menghapus pengembangan pesawat N–245 dan R–80 dari Proyek Strategis Nasional. Meski pertimbangan teknis dan ekonomisnya masih bisa dipahami.

Rasa itu berpangkal pada pertanyaan lebih substansial, mengapa Amerika Serikat butuh waktu hingga sembilan tahun lamanya sebelum kembali ke kancah penerbangan antariksa mandiri?

Sebagai adidaya, Paman Sam nyaris punya semua sumberdaya yang diimpikan guna menempatkan manusia ke langit. Mulai dari institusi pendidikan kelas wahid, industri antariksa papan atas, infrastruktur penunjang yang nyaris komplit dan memadai hingga pendanaan federal yang mencukupi.

Namun apa boleh buat, hampir sedasawarsa harus berlalu sebelum wantariksa berawak yang aman dan layak terbang berhasil dirakit. Butuh sembilan tahun usai misi Endeavour (STS–134) untuk menghadirkan kembali misi Endeavour (Crew Dragon Demo–2) ke orbit Bumi.

Inilah hiatus terpanjang dalam sejarah penerbangan antariksa berawak, lebih lama dari hiatus 6 tahun antara Program Apollo dan Sistem Transportasi Antariksa Ulang–Alik.

Misi Endeavour (STS–134) adalah bagian dari penerbangan akhir sistem transportasi antariksa ulang–alik untuk menyelesaikan pembangunan ISS. Mengangkut enam astronot, misi ini berjalan dengan sukses. Setelah mendarat, Endeavour dipermak lalu dipajang permanen di California Science Center (Los Angeles).

Tepat sembilan tahun kemudian, misi Endeavour (Crew Dragon Demo–2) mengangkasa mengangkut dua astronot, yakni Douglas Hurley dan Robert Behnken. Sesaat setelah mengangkasa, keduanya menyematkan nama Endeavour pada kapsul yang ditumpanginya mengikuti tradisi panjang penerbangan antariksa berawak Amerika Serikat hingga Program Apollo.

Jadi berbeda dengan bab–bab penerbangan antariksa berawak sebelumnya yang sepenuhnya berada di bawah payung operasi pemerintah, dengan aneka perusahaan dirgantara yang dilibatkan hanya berperan sebagai kontraktor.

Di bawah Commercial Crew Program, pada dasarnya perusahaan–perusahaan dirgantara tersebut membuat wantariksanya sendiri–sendiri di bawah iming–iming kontrak dan ditunjang stimulus keuangan federal melalui NASA. Setiap upaya fabrikasi, pengetesan dan peluncuran sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka sementara NASA tinggal menerima hasilnya.

Sekilas hal ini mirip dengan upaya NASA mengontrak kursi wantariksa Soyuz dari badan antariksa Rusia (Roscosmos) sejak 2011. Bedanya, kerjasama NASA dan Roscomos merupakan kerjasama antarnegara, bukan komersial.

Swastanisasi sebagian elemen penerbangan antariksa berawak Amerika Serikat bertujuan memperoleh kendali mutu yang lebih baik di bawah atmosfer persaingan dirgantara yang kompetitif.

Sehingga diharapkan hadir wantariksa berawak yang relatif murah, aman, berdaya pakai ulang tinggi dan mampu mendulang untung. Sekaligus mencegah terulangnya mimpi buruk dari program antariksa ulang–alik.

Sistem transportasi antariksa ulang–alik semula dirancang untuk mengeksploitasi sisi lemah Program Apollo, yakni biaya peluncuran per astronot yang astronomik dan tiadanya unsur daya pakai ulang. Seluruh struktur roket Saturnus V beserta kapsul Apollo di puncaknya hanya bisa digunakan sekali saja, untuk kemudian dibuang atau dimuseumkan.

Pemborosan ala Apollo masih bisa diterima pada upaya pendaratan manusia di Bulan, namun tidak jika tujuannya adalah orbit rendah Bumi (ketinggian kurang dari 1.000 km) seperti pada pengoperasian stasiun antariksa Skylab.

Sistem transportasi antariksa ulang–alik dibayangkan meluncur ke langit sebagai roket, namun mendarat kembali di Bumi di landasan pacu bandara layaknya pesawat biasa.

Ia dibangun berdasar filosofi ‘truk tronton’, dapat mengangkut beban massif sekaligus banyak astronot. Sehingga semua beban penerbangan antariksa sipil dan militer dapat ditanggung. Seluruh komponennya diangankan bisa berdaya pakai berulang kali. Baik pesawat antariksanya maupun tanki bahan bakar eksternal (yang dirancang berpilot dan bersayap).

NASA mengangankan armada ‘truk tronton’ ini dapat terbang ke langit setiap 2 minggu sekali.
Namun pemotongan anggaran memaksa penyesuaian besar–besaran sehingga bentuk akhir sistem transportasi antariksa ulang–alik terdiri atas pesawat ulang–alik, sepasang roket pendorong dan tanki bahan bakar eksternal. Hanya tanki bahan bakar eksternal yang sekali pakai.

Begitu beroperasi, datanglah badai yang menghantam telak dalam tragedi Challenger pada 28 Januari 1986. Selain menewaskan tujuh astronotnya, meledaknya pesawat ulang–alik Challenger hanya 86 detik pasca mengangkasa juga menghancurleburkan konsep ‘truk tronton’. Militer Amerika Serikat akhirnya memilih tetap setia pada roket–roket berat takberawak seperti Delta dan Titan.

Tragedi ini juga menunjukkan tidak amannya sisi manajemen NASA dalam mengelola sistem tranportasi antariksa ulang–alik. Sebab, indikasi malfungsi roket pendorong Challenger sudah diketahui dan didiskusikan para insinyurnya sebelum peluncuran. Peringatan pun diajukan kepada para manajer puncak. Namun ditepis.

Banyak perbaikan kemudian dilakukan, yang memakan banyak biaya. Akan tetapi, 15 tahun kemudian kembali terbukti bahwa sisi manajemen NASA tetap tidak aman seiring terjadinya tragedi Columbia.

Pesawat ulang–alik Columbia berkeping–keping saat menerobos selimut udara Bumi menjelang mendarat di Florida pada 1 Februari 2003. Serupa Challenger, indikasi malfungsi pesawat ulang–alik Columbia sudah diketahui sejak saat peluncuran. Namun para manajer puncak lagi–lagi menepis laporan dan kekhawatirannya.

Tragedi Challenger dan Columbia memaksa perbaikan besar–besaran guna meningkatkan keamanan sistem. Tambahan biaya pun membuat membuat ongkos sistem transportasi antariksa ulang–alik kian melambung.

Ada lelucon getir di komunitas astronotika, bahwa Amerika Serikat harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk mengirim para astronot ke orbit rendah (400 km hingga 600 km di atas paras Bumi) dibanding saat mengirim Neil Armstrong dan rekan–rekannya ke Bulan.

Lebih dari itu, tragedi Columbia juga menguak masalah sistem transportasi antariksa ulang–alik bersifat sistemik. Sehingga diputuskan untuk mengakhiri program ini secepatnya meski secara teknis masih bisa bertahan hingga 2020.

Dragon dan Starline

Sistem transportasi antariksa ulang–alik secara formal diakhiri pada 2011. Sementara penggantinya sama sekali belum siap.

Padahal, NASA kini punya kebutuhan rutin menjaga kontinuitas penghunian ISS yang telah berlangsung tanpa terputus sejak tahun 2000. Di luar itu, Amerika Serikat juga berambisi untuk mendarat (kembali) di Bulan guna eksplorasi jangka panjang dan menyiapkan anak tangga terawal dalam pendaratan manusia ke Mars kelak.

Program Constellation pun disiapkan. Namun di masa pemerintahan Obama, disadari Constellation akan menyedot anggaran yang teramat besar (diprakirakan hingga 150 milyar dollar AS) untuk mencapai tujuannya.

Meski sama–sama berlatar belakang Demokrat, namun Obama enggan mengambil keputusan layaknya Kennedy dan memilih untuk membatalkan Program Constellation pada 2011.

Pembatalan ini memaksa NASA memecah komponen–komponen Constellation ke dalam program–program mandiri yang sebagian diswastakan. Guna melayani ISS, dibentuk Commercial Crew Program bagi para astronot dan Commercial Resupply Services bagi kargo antariksa.

Commercial Crew Program bertumpu wantariksa berbentuk kapsul yang diterbangkan ke orbit dengan roket–roket aktif komersial, baik militer maupun swasta. Empat perusahaan dirgantara turut berkompetisi dalam program ini, namun sejak 2014 hanya menyisakan dua: SpaceX dan Boeing. Stimulus pembiayaan terbesar jatuh ke tangan Boeing (US $ 4,8 milyar) disusul SpaceX (US $ 3,15 milyar).

SpaceX membangun wantariksa kapsul Dragon 2 yang diderivatkan sebagai Crew Dragon. Ia berbentuk mirip peluru raksasa dengan tinggi 8 meter, lebar 4 meter dan volume ruangan bertekanan 9,3 meter kubik. Ia dirancang untuk mengangkut maksimum 7 astronot, meski NASA membatasinya hanya sampai 4 astronot.

Dragon bersifat ulang–alik, mendarat di laut dengan bantuan parasut pengerem dan dilengkapi sistem roket pelontar untuk pengaman manakala terjadi malfungsi dalam tahap awal peluncuran. Sebagai kendaraan peluncurnya, dipilihlah roket Falcon 9 blok 5.

Sementara kompetitornya Boeing juga membangun wantariksa kapsul dengan nama Starliner. Bentuknya lebih menyerupai kapsul Apollo dalam konteks milenium, dengan tinggi 5 meter, lebar 4,5 meter dan volume ruangan bertekanan 11 meter3. Ia juga dirancang mampu mengangkut maksimum 7 astronot, meski NASA tetap membatasinya hanya sampai 4 astronot.

Seperti halnya Dragon, Starliner juga bersifat ulang–alik dan dilengkapi sistem roket pelontar untuk pengaman. Berbeda dengan Dragon, Starliner dirancang untuk mendarat di daratan lewat bantuan parasut pengerem dan bantalan angin. Starliner memiliki banyak opsi kendaraan peluncur, mulai dari roket Delta IV, Atlas V, Falcon 9 maupun Vulcan (yang sedang dibangun).

Sejauh ini kompetisi dalam Commercial Crew Program NASA dimenangkan SpaceX dengan suksesnya peluncuran Crew Dragon Demo–2 pada 30 Mei 2020 lalu. Peluncuran selanjutnya dijadwalkan pada September 2020 kelak di bawah tajuk SpaceX Crew–1 yang bakal mengangkut 4 astronot, salah satunya berkebangsaan Jepang.

Sedangkan Boeing melalui Starliner–nya baru akan menyelenggarakan penerbangan antariksa berawak perdana pada 2021 kelak dengan dorongan roket Atlas V.

Crew Dragon juga unggul pada sisi biaya penerbangan. Dalam perhitungan analis keuangan NASA dan Planetary Society, setiap kursi penerbangan Crew Dragon berharga sekitar 55 juta dollar AS.

Sebaliknya, kursi pada Starliner hampir dua kali lebih mahal, yakni sekitar 90 juta dollar AS. Harga Starliner ini juga masih sedikit lebih mahal ketimbang Soyuz yang sekitar  80 juta dollar AS per kursi berdasarkan nilai rata–rata 12 penerbangan sejak 2017.

Di atas kompetisi ini, penerbangan Crew Dragon Demo–2 menandai babak baru dalam penerbangan antariksa berawak. Yakni penerbangan yang terbukti aman namun lebih efisien dan berdaya pakai tinggi.

Menurunnya harga kursi wantariksa juga kian membuka pintu bagi ceruk baru dalam khasanah penerbangan antariksa berawak, yakni pariwisata antariksa. Dengan harga yang kian terjangkau, kelak langit tak hanya menjadi arena eksplorasi antariksawan–antariksawan komersial namun juga siap menghadirkan para pelancong jenis baru yang penuh antusiasme.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/17/192304823/antara-dua-endeavour-dan-era-baru-penerbangan-antariksa-berawak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke