Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bukan Kebetulan, Virus Corona Muncul Akibat Ulah Manusia

KOMPAS.com – Virus corona, termasuk SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19, ditularkan dari satwa ke manusia. Satwa liar memang menjadi sumber penyakit menular baru (Emerging Infectious Disease/ EID) terbanyak.

Publikasi ilmiah menyebutkan 60 persen EID berasal dari hewan dan 70 persen EID berasal dari satwa liar. Sebagai contoh, HIV diketahui berasal dari simpanse.

Hal itu diungkapkan oleh Matthew Burton selaku Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia.

“Virus corona adalah contoh lain dari patogen yang berasal dari hewan, dan bisa menular ke manusia. Sebagian besar virus tersebut menginfeksi hewan, tapi beberapa virus lain ditransmisikan pada manusia. Hal ini menyebabkan wabah penyakit seperti SARS atau MERS,” tutur Matthew dalam diskusi online yang dilakukan USAID dan KLHK bertajuk “Covid-19 and Our Relationship with Wildlife”, Rabu (22/4/2020).

Jumlah EID, lanjut Matthew, meningkat sebanyak empat kali lipat dalam kurun waktu 60 tahun terakhir. Sebagai contoh, wabah Ebola berkaitan dengan kebiasaan berburu atau pemanfaatan beberapa spesies kelelawar yang membawa virus. Deforestasi juga berkaitan dengan virus Ebola, karena kontak manusia yang semakin dekat dengan satwa liar.

Di hutan Amazon, deforestasi meningkatkan prevalensi penyakit malaria karena hutan gundul menjadi habitat ideal untuk nyamuk. 

“Bukanlah kebetulan kalau kerusakan ekosistem berkaitan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah penyakit menular. Ekosistem yang utuh memberikan perlindungan terhadap manusia. Penyakit menular baru seringkali disebabkan oleh kerusakan ekosistem alam dan perubahan aktivitas manusia,” paparnya.

Dr drh Joko Pamungkas, Pengajar Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Peneliti PSSP-IPB, menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi pemicu penularan penyakit dari satwa liar ke manusia.

“Antara lain deforestasi, perubahan industri pertanian, degradasi habitat, dan fragmentasi habitat. Semuanya mendekatkan satwa liar pada manusia. Ini berkaitan dengan naluri mereka untuk bertahan sehingga menginvasi lingkungan lain dan pemukiman,” papar Joko dalam kesempatan yang sama.

Berdasarkan penelitian yang dimuat dalam jurnal Nature dari pemantauan selama 50 tahun (1950-2000), terdapat tiga kelompok satwa yang menularkan paling banyak penyakit pada manusia.

Tiga kelompok tersebut adalah kelelawar, hewan pengerat (tikus), dan primata.

Joko menyebutkan salah satu fokus permasalahan di Indonesia ada pada konsumsi satwa liar, seperti yang dilakukan di Sulawesi Utara.

“Mengonsumsi kelelawar, tikus, bahkan mengonsumsi macaca nigra (monyet hitam Sulawesi). Nilai ekonomis macaca nigra tidak mahal, sekitar Rp 50-60 ribu per kilogram. Ironis sekali, karena tidak sejalan dengan nilai konservasinya yang sangat tinggi,” papar ia.

Ketidakseimbangan ekosistem dan ulah manusia

Ir Wiratno M.Sc selaku Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa pandemi bisa terjadi akibat keseimbangan ekosistem.

“Ketidakseimbangan ekosistem menyebabkan terputusnya siklus makanan tanpa pemangsa,” tuturnya.

Wiratno memberi contoh kelelawar yang dikenal sebagai sumber dari banyak virus. Menghancurkan habitat kelelawar berdampak pada penyebaran penyakit, karena sebaran kelelawar yang masif dengan jumlah spesies yang banyak.

“SARS dan MERS menjadi contoh nyata dari hal ini. Apalagi penelitian membuktikan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 juga berasal dari kelelawar,” tuturnya.

Mengapa ketidakseimbangan ekosistem bisa terjadi? Selain konsumsi, deforestasi, degradasi serta fragmentasi habitat, perdagangan satwa liar juga menjadi sorotan.

Dr Noviar Andayani, Direktur WCS-Indonesia Program sekaligus Pengajar FMIPA UI menyebutkan perdagangan satwa liar merupakan imbas dari aktivitas manusia purba.

“Perdagangan satwa muncul saat manusia purba bisa menjinakkan hewan, mengganti era berburu dan meramu menjadi pertanian dan peternakan,” ujarnya.

Dari segi ekonomi, perdagangan satwa liar membawa keuntungan yang besar dengan perputaran roda ekonomi yang kencang. Noviar menjelaskan bahwa Indonesia adalah sumber perdagangan satwa yang bernilai jutaan dollar AS.

Seluruh pulau di Indonesia menjadi sumber ekonomi tinggi perdagangan satwa, baik pasar domestik maupun internasional.

“Banyak alasan yang melatarbelakangi hal ini. Misal ketiadaan sumber penghasilan lain, ketamakan dan kebodohan, tradisi, juga ‘cinta yang salah’ terhadap satwa,” paparnya.

Trenggiling misalnya, salah satu hewan yang berdasarkan penelitian disebutkan sebagai satwa inang virus SARS-CoV-2. Dari Indonesia, perdagangan trenggiling bisa dipastikan berakhir di Vietnam, Hongkong, dan China.

“Sementara untuk kelas reptil lebih jauh lagi, berakhir di Amerika Serikat dan Eropa,” sambung Noviar.

Pandemi Covid-19 dinilai tidak berpengaruh terhadap distribusi perdagangan satwa. Bahkan, para ahli mengkhawatirkan adanya peningkatan aktivitas perburuan karena sulitnya ekonomi di masa pandemi.

Apa yang harus dilakukan?

Para pakar sepakat bahwa menghentikan laju deforestasi, menutup pasar satwa liar, dan berhenti atau mengurangi konsumsi satwa bisa memperbaiki keadaan.

“Kita harus bisa hidup berdampingan secara aman. USAID telah mengeluarkan booklet bagaimana cara hidup berdampingan dengan kelelawar. Bagaimana jika kelelawar masuk ke rumah, atau bersarang di pohon dekat tempat tinggal kita,” tutur Joko.

Selain itu, para pihak yang berkepentingan bisa mengeluarkan kebijakan. Selain juga melakukan beberapa pendekatan lintas sektoral, serta kerja sama dan koordinasi yang baik antarwilayah administrasi.

Surveilans yang dilakukan pada satwa liar juga dibutuhkan untuk memetakan virus yang sedang bersirkulasi di sekitar manusia.

“Potensi penyakit seperti ini bisa dilacak sebelumnya. Dari situ kita bisa berikan rekomendasi kepada pemerintah,” tambah Joko.

drh Indra Exploitasia, M.Si selaku Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, KSDAE KLHK menyebutkan telah melakukan pencegahan insitu dan eksitu agar zoonosis tidak terjadi.

Apalagi baru-baru ini, terdapat beberapa kasus transmisi virus SARS-CoV-2 dari manusia ke hewan. Antara lain anjing, kucing, dan harimau. Pencegahan dilakukan dengan harapan tidak terjadi penyebaran Covid-19 dari manusia ke satwa liar.

Pencegahan insitu dilakukan dengan cara menutup semua Taman Nasional dan Taman Wisata Alam (TWA) sehingga tidak ada pergerakan manusia di dalamnya.

“Sementara itu, pencegahan eksitu dilakukan dengan cara menutup akses pengunjung di lembaga konservasi uum dan khusus. Termasuk peneliti dan relawan,” tambah Indra.

Pelajaran dari Covid-19

Noviar menyebutkan ada beberapa hal yang bisa dipelajari terkait pandemi Covid-19 dan hubungannya dengan satwa liar.

“Pertama, virus atau patogen tidak bisa pindah dengan sendirinya. Virus mengandalkan mahluk hidup lain sebagai inang perantara. Memahami cara untuk menjaga jarak dengan spesies mahluk hidup lain merupakan cara preventif yang paling masuk akal, dan paling murah, untuk cegah pandemi,” tuturnya.

Kedua, dengan tidak mengonsumsi satwa liar yang sudah terbukti oleh sejarah bukan untuk dikonsumsi.

“Kita bisa mengambil protein dari hewan, terbatas 14 spesies saja. Jangan makan satwa yang tidak bisa kita kembangbiakkan,” tambah Noviar.

Ketiga, manusia berpotensi menjadi inang perantara yang mematikan karena populasi serta mobilitas yang tinggi. Kepunahan satwa bisa berangkat dari hal ini.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/22/200200523/bukan-kebetulan-virus-corona-muncul-akibat-ulah-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke