Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bila Tak Digunakan, Tanah Telantar Bisa Disita Badan Bank Tanah

Melihat ketimpangan antara kebutuhan dan ketersedia, pemerintah pun membentuk lembaga untuk mengatur regulasi pertanahan di Indonesia.

Adalah Badan Bank Tanah, badan khusus yang dibentuk pemerintah Indonesia dan diberikan kewenangan untuk mengelola tanah di negara ini.

Dasar pembentukan Badan Bank Tanah telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomo 64 tahun 2021 dan merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Salah satu tugas dari Badan Bank Tanah adalah menertibkan tanah telantar. Tanah telantar yang dimaksud adalah tanah yang dimiliki oleh seseorang namun sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan tidak dipelihara.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar, Badan Bank Tanah bisa menertibkan tanah dimaksud.

Tanah hak milik yang menjadi objek penertiban termasuk tanah hak milik yang sudah dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan.

Kemudian juga tanah yang telah dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 (dua puluh) tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemilik tanah.

Selanjutnya objek yang harus ditertibkan adalah tanah hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU), tanah hak pakai, dan tanah hak pengelolaan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau dipergunakan terhitung dua tahun sejak diterbitkannya hak.

Dengan keluarnya PP baru ini, maka masyarakat maupun pengembang yang sudah memiliki hak pakai, hak pengelolaan atau hak guna bangunan dan usah harus langsung memanfaatkan tanah tersebut.

Bila tidak, tanah tersebut bisa dimasukkan dalam daftar tanah telantar dan menjadi objek penertiban oleh Badan Bank Tanah.

Tanah-tanah yang ditertibkan selanjutnya akan menjadi milik pemerintah dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.

Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi membenarkan, bahwa tanah telantar yang tidak dikelola akan dimasukkan dalam bank tanah.

“Tanah yang memiliki HGB dan HGU yang telantar tan tidak dikelola, maka akan dimasukkan ke bank tanah,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Namun menurut Taufiq, tanah akan dimasukkan dalam kategori tanah telantar bila dilakukan evaluasi, pemberian peringatan kepada pemilik tanah, dan kemudian ditetapkan menjadi tanah telantar.

Nantinya tanah yang telah memiliki status sebagai tanah telantar akan menjadi Aset Badan Bank Tanah dan bisa dipergunakan demi kepentingan umum.

Aturan Jelas

Sementara itu, Wakil Ketua DPP REI Bambang Ekajaya mengharapkan, adanya aturan baru ini disertai petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) yang jelas.

“Harus ada juklak dan juknis yang jelas. Misalnya kriteria ditelantarkan itu seperti apa karena akan sangat berpengaruh bagi pengembang,” ujar Bambang saat diwawancarai Kompas.com, Senin (25/10/2021).

Sebab, dalam satu kawasan yang sedang dikembangkan, pasti ada section atau cluster yang tidak mungkin dibangun secara serentak.

Biasanya pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai progres penjualan.

Tentu saja, kawasan-kawasan tersebut tetap masih dalam pemeliharaan. Hanya, kondisinya masih kosong dan belum dimanfaatkan.

“Spririt dalam PP 20 tahun 2021, tetap kami dukung. Ini sangat penting agar menghindari spekulasi tanah yang bisa merepotkan semua pihak,” jelas Bambang.

Namun, ia berharap pelaksanaan aturan ini di lapangan, khususnya penerapan sanksi harus tepat sasaran sehingga tidak terjadi penyimpangan.

Tidak Berdampak Signifikan

Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks menilai adanya PP 20 tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah telantar, tidak akan terlalu berdampak signifikan dalam sistem hukum pertanahan Indonesia.

“Sebenarnya ini bukanlah hal baru di dalam sistem hukum pertanahan kita. Tapi memang berdasarkan PP 20 tahun 2021 ini ketentuannya lebih tegas dari sebelumnya,” jelas Eddy dalam wawancara bersama Kompas.com, Selasa (26/10/2021).

Aturan dalam PP 20 tahun 2021 ini lebih tegas karena mempunyai cakupan yang lebih luas dari aturan sebelumnya, yaitu tidak lagi hanya tanah yang tidak boleh ditelantarkan, tapi juga tidak boleh menelantarkan kawasan dan adanya batasan waktu, yaitu dua tahun sejak diterbitkannya hak.

Namun menurut Eddy, dampaknya tidak lebih besar dari sebelumnya karena prinsip yang diatur adalah sama, yaitu larangan menelantarkan tanah. Prinsip ini bahkan sudah diformalkan sejak berlakunya UU Pokok-pokok Dasar Agraria tahun 1960.

“Sebelum PP nomor 20 tahun 2021, aturan serupa telah ada tahun 2010 yang mencabut aturan lama yang berlaku sejak tahun 1998. Jadi singkatnya, peraturan pemerintah tahun 2021 ini bukanlah ketentuan baru yang tiba-tiba dimunculkan pemerintah,” tambahnya.

Sementara itu, untuk lahan dan bangunan yang akan dibeli dengan sistem Kredit Perumahan Rakyat (KPR), maka pengembang harus mengusahakan tanahnya sesuai rencana bisnis mereka sejak awal.

“Jika pengembang perumahan mengembangkan tanah yang dimilikinya untuk perumahan, meski status rumah yang dibeli masih KPR, berarti pengembang tidak menelantarkan tanahnya. Mereka talah memanfaatkan tanahnya melalui pembangunan perumahan,” papar Eddy.

Pengembang mempunyai sertifikat tanah induk, yang kemudian akan dipecah-pecah sesuai kavling perumahan yang dijual ke konsumen/pembeli.

Sertifikat yang akan dipecah dan dijaminkan ke bank dalam rangka KPR tidak masuk ke dalam objek penelantaran tanah, karena tanah tersebut dimanfaatkan untuk perumahan.

“Selama tanah dan rumah di atas tanah tersebut dimanfaatkan secara nyata oleh pembeli, tanah tersebut tidak masuk dalam objek penertiban tanah telantar, terlepas dari status sertifikatnya, dijaminkan atau tidak,” tandas Eddy.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/10/26/131636721/bila-tak-digunakan-tanah-telantar-bisa-disita-badan-bank-tanah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke