Kompas.com - 13/08/2011, 22:42 WIB

Jadi, jangan heran jika bapakku berkawan dengan sangat baik sekali dengan tukang sampah, satpam penjaga kampung, tukang gosek atau pemulung, loper koran, atau siapapun saja yang dengan tekun mengibarkan layar nafkahnya masing-masing. Kerendahan hati adalah ilmu bapak yang diajarkan kepada anak-anaknya sejak kami kanak-kanak.

Sedangkan fakultas kehidupan, sebagaimana dikatakan bapak, hanya dapat dibaca oleh orang-orang yang cukup mempunyai kedalaman. Karena, ilmu urip, demikian bapak biasa mengatakan kepada kami, hanya akan memberikan berkahnya, kepada orang-orang yang gemar memelihara kehidupan itu sendiri. Dengan ilmu terus memberi itulah, hidup, dengan sendirinya akan terus juga memberi, kepada orang-orang yang gemar berbagi rejeki. Layaknya para nabi.

Meski kerap kali, imbuh bapak, kehidupan paling gemar berbicara dengan manusia via bahasa tanda. Oleh karenannya, hidup "Hanya mampu dibaca oleh orang-orang yang biasa terlatih dengan penderitaan, dan kuat dalam masa keprihatinan". Untuk soal yang satu ini, bukan perkara gampang. Pada awalnya, ketika kesusahan, yang kerap kali datang bersama kawan baiknya bernama penderitaan menyapa, aku kerapkali dibuat lintang pukang dibuatnya.

Tapi, seiring berjalannya waktu, ketika kesusahan jelma, masa keprihatinan tiba, aku sudah terbiasa. Maka, ketika semua perkara itu datang, malah sebisa mungkin, aku tertawa-tawa akhirnya. Apakah orang-orang PKI yang tumpas pada tahun 65-66 itu tertawa-tawa juga ketika maut dipaksakan menyapanya? Aku tidak tahu, demikian halnya dengan bapakku. Yang pasti, banyak kawan kuliahnya waktu itu, hilang entah ke mana? Entah dihilangkan atau sengaja menghilangkan diri, tidak ada yang tahu pasti.

Hidup dengan sangat kejam memaksa orang-orang PKI, yang sepenceritaan bapakku, dulu berada di atas angin. Tiba-tiba dalam hitungan hari,  dimakan pusaran angin yang menelan mereka bersama keluarga mereka, dan keturunannya. Sebuah tragis yang memaksa kawan menjadi lawan, bapak menjadi musuh, anak menjadi seteru. Dan dendam mengembara ke mana-mana, ke setiap sudut serta mengancam kemanusiaan yang mulai dan telah kehilangan perinya.

Untung bapak tidak kehilangan peri itu. Meski pengambil kebijakan negeri ini, pada saat itu, dengan para perangkatnya telah bermain buta, dan telah lama kehilangan peri kemanusiaannya, dengan membantai sesamanya atas nama apa saja. Bapak memilih membesarkan anak-anaknya dengan cara apa saja, kecuali menjadi maling apalagi rampok. Sebuah ihwal yang rata-rata diajarkan para pengambil kebijakan negeri ini, dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka. Jadi tidak mengherankan, jika negeri ini menjadi republik maling, karena hampir semua pelakunya adalah rampok. Yang orang tuanya, notabene dulu pernah mempunyai tanda jasa, karena turut menumpas pemberontakan yang konon akibat sepak terjang PKI. Bukan yang lain.

Jadi, siapa sebenarnya yang pantas ditumpas hingga ke akar-akarnya? PKI yang laten dan keturunannya, atau maling-maling yang kebengisannya jauh lebih keji dari kelakuan dan rupa penjahat yang paling biadad sekalipun. Meski mereka kerap dan tekun melakukan ritual keagamaan yang menciutkan nyali? Ah, bapakku memang telah pulang, dan telah lama menera negeri ini akan menjadi negeri maling. Tapi paling tidak, anak-anaknya tidak menjadi salah satu dari banyak maling, yang makin hari makin menyesak dan dimaklumkan. Bahkan baru-baru ini, ada seorang petinggi lembaga negara dengan bangga memaklumkan perma'afan bagi para maling uang negara. Aduhai, alangkah indahnya. (Agustus 2011)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Komentar
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com