Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perlukah Lembaga Peradilan Menggunakan Artificial Intelligence? (Bagian II-Habis)

Praktik terkait peran AI di Lembaga Peradilan dapat kita lihat antara lain di Inggris, seperti dilansir Associated Press dengan tajuk “UK judges given cautious approval to use AI in writing legal opinions” (8/1/2024).

Laporan itu menjelaskan, bahwa sistem hukum Inggris yang berusia 1.000 tahun, saat ini masih menganut tradisi seperti penggunaan wig dan jubah oleh para hakim. Hal ini menunjukan bahwa Inggris masih memegang teguh tradisi yudisial secara ketat.

Namun demikian, Pengadilan negara asal muasal sistem Common Law itu, telah mengambil langkah futuristik dengan hati-hati. Seiring perkembangan teknologi digital yang begitu cepat, para hakim diizinkan untuk menggunakan AI dalam membuat putusan.

Pengadilan Inggris memberikan persetujuan untuk penggunaan AI secara selektif dalam menulis pertimbangan hukum.

Di Pengadilan Inggris, AI dapat digunakan untuk membantu menulis opini. Dengan syarat AI tidak boleh digunakan untuk penelitian atau analisis hukum.

Hal itu disebabkan karena teknologi tersebut dapat memalsukan informasi dan memberikan informasi yang menyesatkan, tidak akurat, dan bias.

Hal terakhir ini seringkali menjadi fenomena AI Generatif, yang disebut sebagai halusinasi AI. Tampaknya pengadilan Inggris sangat berhati-hati dalam hal ini.

Chatbot publik

Persoalan kemungkinan halusinasi AI dapat diminimalisasi, atau bahkan dihindari jika profesi hukum tidak menggunakan chatbot AI publik. Pengadilan sebaiknya membangun chatbot GenAI sendiri, yang dapat digunakan oleh para hakim.

Chatbot AI itu juga harus disuplai oleh data pelatihan akurat dari hierarki tertinggi sampai terendah secara lengkap dengan segala update perubahannya, konvensi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi, yusrisprusdensi, data penelitian hukum, serta doktrin berupa teori hukum dan pendapat pakar.

Teori hukum dan pendapat pakar ini, penting untuk dimasukan sebagai bahan pelatihan. Karena dalam sistem hukum, “doktrin” dikualifikasikan juga sebagai sumber hukum, dengan syarat memiliki kualitas akademis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penggunaan AI juga harus secara konsisten diawasi dan berada di bawah kendali dan tanggungjawab manusia. Menelaah luaran AI, dan melakukan cek ricek akurasinya oleh manusia sebagai penanggungjawabnya, menjadi hal yang wajib dilakukan.

Seperti telah diutarakan, Associated Press mengutip Master of the Rolls Geoffrey Vos, seorang juri dengan peringkat tertinggi kedua di Inggris dan Wales, yang menyatakan bahwa para juri tidak perlu menghindari penggunaan AI.

Master Geofrrey menekankan, hal terpenting adalah menggunakannya secara hati-hati. Dan memastikan, bahwa mereka melindungi kepercayaan dan mengambil tanggung jawab penuh atas semua yang mereka hasilkan.

Bagaimanapun teknologi pasti memiliki kelemahan. Oleh karena itu, pengguna harus memahami benar bahwa produk luaran AI perlu ditelaah secara detail dan dilakukan cek ricek.

Pengguna juga harus memahami benar cara kerja platform yang digunakan. Termasuk bagaimana membuat instruksi dan pertanyaan yang benar dan tepat.

Pengguna harus memanfaatkan AI dengan standar etika dan regulasi yang ditetapkan oleh Lembaga yudikatif itu, termasuk ketentuan tentang pelindungan data.

Terkait dengan pelindungan data, dapat dirujuk Pedoman AI European Commission for the efficiency of justice (CEPEJ).

CEPEJ menekankan, agar jangan memasukkan informasi rahasia apa pun ke dalam chatbot AI publik yang berada dalam domain publik, dan bisa diakses siapapun secara luas. Pasalnya, setiap informasi yang dimasukkan akan mungkin dilihat sebagai informasi yang dipublikasikan ke seluruh dunia.

Di sinilah pentingnya unsur good governance dan akuntabilitas AI. Jika akan menggunakan AI, Pengadilan seharusnya membangun Chatbot AI foundation dan AI generatifnya sendiri, dan tidak menggunakan chatbot public seperti ChatGPT yang digunakan massal dan bisa diakses setiap orang.

UNESCO

Hal yang juga penting adalah apa yang dikemukakan dalam rilis resmi UNESCO, “How to determine the admissibility of AI-generated evidence in courts?” (21/7/2023).

UNESCO menegaskan, bahwa di era digital, alat bukti elektronik menjadi bagian tak terpisahkan dari proses hukum. Email, pesan teks, postingan media sosial, dan rekaman pengawasan digunakan untuk menetapkan fakta dan mendukung argumen hukum.

UNESCO mengakui bahwa saat ini AI telah menambah lapisan kompleksitas baru, dengan munculnya bukti-bukti yang dihasilkan oleh AI.

Lebih lanjut, lembaga PBB itu menyatakan, hakim menghadapi tantangan dalam mengevaluasi diterimanya bukti AI tersebut, karena adanya kekhawatiran terkait keandalan, transparansi, interpretasi, dan bias.

UNESCO mengingatkan bahwa tantangan ini menjadi lebih besar, dengan penggunaan sistem AI generatif, yang berkontribusi terhadap mis-informasi dan dis-informasi dalam skala besar.

Fakta ini menunjukan bahwa AI juga berkaitan erat dengan legal evidence. Selain itu penggunaan AI juga bisa dilakukan oleh para pihak di pengadilan, dalam preparasi materi persidangan dan bukti perkara.

Berdasarkan fakta ini, maka para hakim dan pengadilan sudah harus merespons keberadaan AI ini dengan akuntabilitas dn akurasi optimal. Mengingat penggunaan AI di pengadilan adalah fenomena baru tak terhindarkan.

Sebagai penutup, menarik untuk menyimak laporan terbaru Bloomberg Law bertajuk “Judges Defend AI Use by Attorneys for Early Brief Drafts (13/3/2024).

Laporan itu mengutip pendapat Hakim Distrik di Amerika Serikat yang mengatakan, bahwa pengacara dapat menggunakan AI sebagai alat, namun harus memeriksa keakuratannya.

Chief Magistrate Judge Helen Adams, Hakim Southern District of Iowa, mengatakan, pengadilan tidak boleh menganggap segala sesuatu tentang AI itu jahat dan tidak membantu.

Ia menekankan, bahwa hal ini tidak ada bedanya dengan mengandalkan associate, atau pekerja magang, untuk menyusun laporan singkat tersebut.

Hal terpenting adalah, kita harus menjadikan AI hanya sebagai instrumen pembantu, karena tanggung jawab dan putusan tetap harus dilakukan oleh manusia.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/03/31/141932480/perlukah-lembaga-peradilan-menggunakan-artificial-intelligence

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke