Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Baru AI dan Arbitrase Bisnis

Proses cepat, efisien, ditangani para ahli, biaya terukur, dan prinsip menjaga reputasi para pihak menjadi alasan dipilihnya arbitrase.

Para pihak akan terjaga reputasi bisnisnya karena proses maupun putusan arbitrase sifatnya rahasia. Undang-Undang 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menegaskan bahwa semua pemeriksaan dalam proses arbitrase dilakukan secara tertutup (pasal 27).

Jika ada pihak yang melakukan upaya hukum pembatalan putusan ke pengadilan, akan berdampak hilangnya sifat tertutup arbitrase yang melindungi reputasi para pihak ini.

Karena putusan pengadilan sudah barang tentu bersifat terbuka dan dipublikasikan. Hal ini tentu tidak produktif dari sisi reputasi.

Arbitrase berbasis itikad baik. Memilih arbitrase pada prinsipnya dilandasi itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan cara elegan.

Maka tak heran jika dalam memutus, para arbiter akan berpijak pada nilai-nilai logika dan kepatutan, selain hukum dan keadilan berbasis realitas dan fakta.

Arbitrase juga menjunjung tinggi logika, realitas dan fakta tanpa melebih-lebihkannya. Oleh karena itu, dalam arbitrase nilai gugatan akan menjadi logis. Karena berdampak pada nilai biaya arbitrase yang harus dipenuhi penggugat di awal proses.

Hal ini tentu berbeda dengan gugatan litigasi di pengadilan. Seseorang dapat menuntut nilai ganti rugi imateriil atau potensi keuntungan berapapun termasuk yang tak masuk akal.

Realitas inilah yang membuat para pihak lebih logis di arbitrase. Mereka cenderung hanya akan menuntut nilai kerugian yang benar-benar dialami dan logis secara hukum serta tak mengada-ada. Sistem arbitrase di seluruh dunia menganut hal seperti ini.

Meskipun arbiter atau majelis bisa terdiri atas kalangan non-hukum, putusan arbitrase adalah putusan hukum ajudikasi non litigasi final dan pengikat (final and binding). Karena putusan hukum setara putusan pengadilan, maka menggunakan irah-irah sakral "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" (pasal 54 UU 30/1999).

Oleh karena itu, prosesnya harus secara ketat mematuhi hukum acara, atau peraturan prosedur arbitrase. Arbiter harus menguasai baik hukum materil maupun formil.

Kedudukan dan penunjukan Arbiter

Meskipun Arbiter dipilih oleh salah satu pihak, kedudukan seorang arbiter tidak identik dengan penasihat hukum atau pengacara bagi pihak yang memilihnya. Arbiter akan memutus berdasarkan hukum, keadilan dan kepatutan (pasal 56 UU 30/1999).

BANI Arbitration Center, misalnya, menekankan bahwa Arbiter yang ditunjuk akan memeriksa perkara sesuai dengan ketentuan Peraturan dan Prosedur BANI dan tidak berpihak (pasal 10.5 Peraturan dan Prosedur Arbitrase 2022).

Dalam kapasitas ini, Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut (pasal 21).

Penunjukan arbiter dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 17 UU 30/1999 mengatakan:

Pertama, dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis, dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.

Perikatan perdata ini menjadi unik. Karena UU 30/1999 menekankan bahwa arbiter harus memutus secara jujur, adil. Dalam kapasitas inilah arbiter bersifat independen dalam melaksanakan tugasnya.

Pilihan arbiter oleh para pihak berbasis keyakinan atas kapasitas pribadi yang terpercaya (trustworthy).

Kedua, penunjukan tersebut mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama (pasal 17 UU 30/1999).

AI dan Arbitrase

Perkembangan Teknologi informasi dan transformasi digital telah memengaruhi berbagai sendi kehidupan, termasuk arbitrase.

Akhir tahun 2023, para tokoh dan pelaku arbitrase dunia berkumpul di Guangzhou, China, untuk melaksanakan konferensi terkait hal ini. Forum terkemuka ini membahas kemajuan AI di bidang hukum.

Brenda Kanana, dalam laporannya berjudul "AI Powerd Arbitration Assistant Sucessfully Resolves First Case" (1/9/2023) mengatakan, asisten arbitrase AI baru-baru ini berhasil menyelesaikan kasus-kasus awal, dan meningkatkan efisiensi penyelesaian sengketa.

AI milik Komisi Arbitrase Guangzhou ini dapat mempercepat prosedur dan membantu pekerjaan profesional hukum. AI telah mencapai kesuksesan perdananya secara efektif menyelesaikan sengketa antara dua perusahaan swasta dalam negeri.

Dari laporan Brenda dapat dirangkum:

Pertama, AI bermanfaat dalam memfasilitasi kecepatan penyelesaian masalah hukum yang kompleks, meningkatkan presisi dan ketangkasan seluruh proses. Tonggak penting ini menggarisbawahi potensi transformasi teknologi di bidang hukum.

Kedua, Asisten arbitrase AI dapat menangani berbagai tugas prosedural, termasuk penilaian kasus secara cerdas, terjemahan real-time dalam berbagai bahasa, pengenalan bukti yang didukung blockchain dll.

Ketiga, AI dapat meningkatkan efisiensi hingga hampir empat kali lipat yang dibuktikan oleh komisi tersebut.

AI bisa memberikan panduan informasi pra-persidangan yang penting, pencatatan persidangan yang cermat, dan referensi berharga untuk kasus serupa. Kemunculan asisten AI menandai era baru bagi para arbiter.

Keempat, dengan membebaskan arbiter dari tugas-tugas biasa, teknologi ini memberi lebih banyak waktu bagi para arbiter untuk menyempurnakan kualitas putusan mereka, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip keadilan prosedural.

Integrasi AI akan mempercepat efisiensi arbitrase dan memperkuat peran penting arbiter sebagai pengambil keputusan utama. Dalam hal ini, putusan tetap akan dilakukan oleh arbiter manusia.

Komisi Arbitrase Guangzhou sebelumnya telah meluncurkan robot layanan cerdas yang mahir mengelola pengajuan kasus dan memberikan konsultasi. Lebih dari 14.000 konsultasi dan hampir 300 pengajuan kasus telah ditangani.

Laporan Brenda menyebut robot cerdas ini telah menjadi bagian integral dalam menyederhanakan proses hukum awal. Keberhasilan penyelesaian kasus perdana asisten arbitrase AI menjadi petunjuk hubungan simbiosis antara teknologi dan hukum.

Etika dan akurasi

Penggunaan AI dalam arbitrase dan pengadilan harus berbasis etika digital dan hukum. Bias dan fenomena halusinasi AI, menjadi unsur penting yang harus dihindari. Peran manusia untuk finalisasinya adalah keniscayaan.

Saat ini telah berkembang pesat tidak hanya AI generatif tetapi juga Artificial General Intelligence (AGI).

Sebagaimana dirilis Amazon (AWS), AGI adalah bidang penelitian AI teoretis yang berupaya membuat perangkat lunak dengan kecerdasan mirip manusia.

AGI juga memiliki kemampuan untuk belajar mandiri. Hal ini membuat perangkat lunak dapat melakukan tugas-tugas yang belum tentu dilatih atau dikembangkan sebelumnya secara otonom.

Jika AI saat ini berfungsi dalam serangkaian parameter yang telah ditentukan sebelumnya, maka AGI adalah upaya teoretis untuk mengembangkan sistem AI yang memiliki pengendalian diri otonom.

Istimewanya, AGI diproyeksikan memiliki tingkat pemahaman diri yang wajar, dan kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru. AGI dapat memecahkan masalah kompleks dalam konteks yang tidak diajarkan kepadanya pada saat penciptaannya.

Namun demikian, AGI dalam perspektif lain menjadi kekhawatiran. Karena jika tidak diregulasi dapat berperan melampaui kecerdasan dan mendisrupsi peran dan peradaban manusia.

Oleh karena itu, regulasi dan pedoman tentang penggunaan AI, termasuk dalam proses arbitrase menjadi hal penting.

Sebagai catatan, mengingat platform AI generatif seperti chatbot telah bisa diakses siapapun secara mudah dan ekstra teritorial, maka para pihak dimungkinkan sudah memanfaatkan AI dalam menyusun materi perkaranya.

Untuk itulah pedoman penggunaan AI sudah harus mulai ditegakan, agar pemanfaatan AI dalam arbitrase tetap digunakan secara akuntabel dan bebas dari materi bias dan halusinasi AI.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2024/02/07/165548380/fenomena-baru-ai-dan-arbitrase-bisnis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke