Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengembalian Kerugian Korban Investasi Bodong, Mungkinkah?

Tindakan preventif guna menghindari kerugian lebih besar bagi masyarakat sampai saat ini terus dilakukan, di antaranya oleh Satgas Waspada Investasi (SWI).

Terbaru, SWI melakukan pemblokiran terhadap sembilan entitas investasi tanpa izin, 88 pinjaman online, dan 77 pergadaian swasta tanpa izin.

Penegakkan hukum melalui proses pemidanaan juga berlangung, baik di kepolisian maupun pengadilan.

Belum lama ini, Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar terhadap Indra Kenz sehubungan dengan kasus Binary Option.

Namun, di antara serangkaian proses penegakan hukum, salah satu problematika yang patut diberikan perhatian khusus adalah pengembalian kerugian korban.

Hal ini timbul karena putusan pengadilan menyatakan bahwa aset yang disita dari pelaku tindak pidana dirampas oleh negara.

Putusan tersebut tentunya menimbulkan rasa kecewa dan kesal apabila dilihat dari sisi korban. Ini karena probabilitas pengembalian kerugian yang mereka derita menjadi sangat kecil.

Lantas, apakah dalam proses penegakan hukum terkait investasi bodong masih dimungkinkan untuk memulihkan atau mengembalikan kerugian korban?

Restitusi bagi korban

Untuk diketahui bahwa pada suatu proses penegakan hukum terkait investasi bodong, terdapat mekanisme hukum untuk mengembalikan kerugian korban melalui proses Restitusi.

Restitusi didefinisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Terkait mekanisme tersebut, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA No. 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (Perma No. 1 Tahun 2022).

Perma tersebut diterbitkan di antaranya sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagaimana diubah dengan PP No. 35 Tahun 2020.

Beleid tersebut di antaranya mengatur tentang permohonan restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK.

Pada Perma No. 1 Tahun 2022 diatur bahwa korban memperoleh restitusi, di antaranya, ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan.

Selain itu, dapat juga atas ganti kerugian, baik materiil maupun immaterial, yang ditimbulkan akibat tindak pidana.

Permohonan restitusi dapat dilakukan oleh satu orang atau lebih. Dalam hal pemohon lebih dari seorang, dapat dilakukan penggabungan permohonan.

Pengajuan dan pemeriksaan permohonan restitusi dapat dilakukan melalui dua mekanisme, yakni sebelum putusan pengadilan (pidana) berkekuatan hukum tetap atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Permohonan restitusi kepada pengadilan dapat diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), penyidik, penuntut umum, korban atau kuasanya.

Dalam hal permohonan diajukan sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan diajukan kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.

Kemudian, apabila permohonan restitusi diajukan sebelum berkas perkara dilimpahkan, penuntut umum wajib memuat permohonan ke dalam surat dakwaan dan memaksukkan berkas permohonan dalam berkas perkara.

Selain itu, untuk diketahui bahwa permohonan restitusi tidak menghapus hak korban, keluarga, ahli waris dan wali untuk mengajukan gugutan perdata.

Kemudian, apabila permohonan restitusi diajukan setelah adanya putusan pengadilan, maka permohonan diajukan paling lambat 90 hari sejak Pemohon mengetahui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam permohonan tersebut terpidana menjadi pihak Termohon, sementara Penuntut menjadi pihak terkait dalam permohonan restitusi.

Peran penting LPSK

Untuk menjadi catatan bahwa dalam proses perngajuan restitusi terdapat peran penting LPSK.

LPSK diberikan hak dan wewenang untuk menjadi pihak pemohon dalam permohonan restitusi.

Selain itu, LPSK memiliki kewewenangan untuk melakukan verifikasi, validasi, dan penghitungan mengenai besaran nilai restitusi.

Apabila permohanan restitusi diajukan melalui penyidik atau LPSK, berkas permohonan disampaikan kepada penuntut umum disertai keputusan LPSK mengenai besaran nilai restitusi jika terdapat keputusan.

Selain itu, berkas juga harus dilengkapi dengan pertimbangan LPSK mengenai besaran nilai restitusi.

Hal-hal tersebut di atas disampaikan sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan atau paling lambat sebelum penuntut umum membacakan tuntutan pidana.

Selama proses pemeriksaan dugaan tindak pidana, hakim dapat memberikan kesempatan kepada pemohon dan/atau LPSK untuk menyampaikan keterangan serta alat bukti tambahan.

Setelah proses persidangan selesai, penuntut umum menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada terdakwa dan/atau pihak ketiga dan LPSK paling lambat tujuh hari terhitung sejak diterimanya salinan putusan oleh penuntut umum.

Kemudian, LPSK menyampaikan salinan putusan kepada korban atau keluarga, ahli waris, atau kuasanya paling lambat tujuh hari terhitung sejak salinan putusan diterima.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2022/12/03/060000180/pengembalian-kerugian-korban-investasi-bodong-mungkinkah-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke