Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mahkamah Konstitusi dan Gagasan Perluasan Kewenangan

Namun demikian, salah satu problematika yang mengemuka dari eksistensi keberadaan MK adalah adanya putusan MK yang diabaikan atau dikesampingkan oleh lembaga negara lainnya.

Salah satu indikatornya dapat dilihat dari respons lembaga negara lainnya yang menerbitkan peraturan perundang-undangan di bawah UU yang tidak koheren dengan putusan MK.

Atau, adanya putusan judicial review Mahkamah Agung (MA) yang bertentangan dengan putusan MK mengenai substansi yang sama.

Salah satu contohnya adalah Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 yang intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sebelum dibatalkan MK, pasal tersebut mengatur bahwa “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan sekali."

Namun dengan adanya putusan MK, maka PK dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari sekali.

MA merespons hal tersebut dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 07 Tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014 yang menegaskan bahwa PK dibatasi hanya satu kali.

Kondisi tersebut memunculkan problematika mengingat MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Akibatnya, sikap tersebut menimbulkan tidak adanya koherensi di dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal ini, maka layak dimunculkan gagasan perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya terbatas pada UU terhadap UUD 1945, namun juga peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Perbedaan sikap

Perluasan kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU seharusnya menjadi diskusi strategis.

Hal ini karena saat ini kewenangan judicial review dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni MK dan MA.

Pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan MK, sementara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan MA.

Pemisahan kewenangan tersebut dalam praktiknya menjadi kurang efektif dan kerap menimbulkan disharmonisasi.

Akibatnya, harapan untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang terjaga koherensinya dalam teori struktur piramida menjadi jauh panggang dari api.

Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya problematika tersebut di antaranya disebabkan oleh proses persidangan judicial review di MA dan keberlakuan putusan judicial review di MA yang tidak dapat berlaku seketika.

Proses persidangan judicial review di MA patut menjadi sorotan karena proses persidangan tidak dapat diakses oleh masyarakat umum dan hanya memeriksa berkas para pihak.

Sidang dilakukan tanpa dihadiri para pihak atau mendengarkan keterangan saksi maupun ahli, kecuali pengadilan menghendaki.

Hal ini tentu belum sesuai dengan asas peradilan yang terbuka untuk umum dan pelaksanaan secara utuh asas audi et alteram partem.

Putusan judicial review MA yang mengabulkan permohonan pun tidak berlaku seketika.

Putusan MA yang menyatakan suatu peraturan bertentangan dengan UU berlaku setelah badan atau pejabat yang mengeluarkan peraturan tersebut mencabutnya.

Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari tidak dicabut, maka demi hukum peraturan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sifat putusan MA yang tidak berlaku seketika berbeda dengan sifat putusan judicial review MK yang berlaku seketika sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Tidak berlakunya secara seketika putusan judicial review di MA pun menunda berlakunya keadilan bagi para pencari keadilan yang permohonannya telah dikabulkan.

Urgensi perluasan kewenangan MK

Ada beberapa cara yang memungkinkan kewenangan MK dapat diperluas untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, demi menjaga koherensi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Cara Pertama yang dapat dipertimbangkan adalah mekanisme perluasan kewenangan MK melalui praktik peradilan di MK yang kemudian menjadi preseden.

Hal ini salah satunya sebagaimana dilakukan terhadap kewenangan MK untuk menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Perluasan kewenangan tersebut dapat dilihat pada Putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009, di mana salah satu pertimbangan dikeluarkannya putusan ini adalah materi muatan di dalam Perppu sama dengan materi muatan di dalam UU.

Selain itu, ketikdakjelasan kapan waktu DPR bersidang guna memberi persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap suatu Perppu.

Jika diperhatikan secara seksama beberapa Putusan MK telah menegaskan perluasan kewenangan MK untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Penegasan hal ini dapat dilihat pada putusan judicial review dalam perkara No. 85/PUU-XI/2013 mengenai UU Sumber Daya Air.

Pada pertimbangan hukumnya, MK mencoba menyatakan dirinya tidak melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Namun, dengan mempertimbangkan bahwa karena persyaratan konstitusionalitas UU SDA yang diuji digantungkan pada ketaatan peraturan pelaksanaan UU dalam mengimplementasikan penafsiran MK, maka MK mengambil langkah untuk melakukan pemeriksaan secara seksama terhadap peraturan pelaksana dari UU SDA, dalam hal ini peraturan pemerintah (PP).

Hal ini juga dapat kita baca dalam pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) yang diajukan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pada Putusan No. 103/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hakim Konstitusi tersebut pada intinya menyatakan bahwa terdapat “dilema konstitusional” ketika materi muatan yang seharusnya diatur dalam UU, namun dipindahkan ke dalam bentuk PP.

Permasalahannya adalah saat ini tidak terdapat aturan yang mengatur bagaimana bila terdapat PP atau peraturan perundangan di bawah UU lainnya yang bertentangan dengan UUD, siapa yang berhak mengadili.

Akan tetapi dengan merujuk pada praktik dalam Putusan No. 85/PUU-XI/2013, maka sudah sepatutnya apabila MK berwenang untuk memeriksa dan mengadili peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Mekanisme kedua yang dapat dipertimbangkan selanjutnya adalah perluasan kewenangan MK melalui UU MK.

Hal ini pernah dilakukan melalui Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU tersebut MK diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang sebelumnya merupakan wewenang MA.

Selain itu, Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pun memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan kewenangan MK, selain kewenangan yang diatur Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Namun, kedua ketentuan tersebut dibatalkan MK melalui Putusan No. 97/PUU-XI/2013, sehingga apabila perluasan melalui kewenangan hanya melalui UU, hal tersebut berpotensi untuk dibatalkan kembali oleh MK.

Perwujudan lembaga MK sebagai the guardian of constitution akan sulit dilakukan tanpa harmonisasi langkah dari seluruh pihak.

“Pembangkangan” terhadap putusan MK pun berpotensi sering terjadi ke depannya apabila tidak dibuat regulasi yang menegaskan dan melengkapi kewenangan MK untuk melakukan pengujian terhadap keseluruhan peraturan perundang-undangan.

Semua pihak harus menyadari bahwa putusan lembaga peradilan, dalam hal ini lembaga MK, harus diimplementasikan sebagaimana termaktub di dalam putusannya.

Pelaksanaan putusan MK juga menjadi cerminan terhadap supremasi konstitusi.

Penghormatan terhadap suatu putusan pengadilan berkaitan juga dengan kualitas substansi suatu putusan dan juga integritas dari hakim yang mengeluarkan putusan tersebut.

Tindakan lembaga negara yang merespons putusan MK dengan menerbitkan kebijakan atau aturan di bawah UU yang bertentangan dengan putusan MK perlu dicarikan solusinya.

Salah satu gagasan yang bisa dipertimbangkan adalah dengan diperluasnya kewenangan MK untuk melakukan judicial review tidak hanya menguji UU terhadap UUD 1945, namun juga peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.

Gagasan perluasan kewenangan MK bukan dimaksudkan untuk menjadikan MK sebagai lembaga yang superbody.

Namun agar terjadi harmonisasi dan sinkronisasi dalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan.

Di mana muara dari hal tersebut adalah terwujudnya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2022/01/07/142214680/mahkamah-konstitusi-dan-gagasan-perluasan-kewenangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke